Pada Kyai, Ummat Berkiblat

Kyai Abdullah Kafabihi Machrus, Pondok Pesantren HM Lirboyo Kediri: Untuk apa seorang alim hidup bila ilmunya tak sedikitpun bermanfaat bahkan untuk dirinya sendiri.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, yaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan.

Penampilan Bukan Indikator Keimanan

KH. Muslim Imam Puro: Banyak orang telah merasa berislam sempurna saat jidatnya menghitam dan bercelana cingkrang, kemudian menuduh mereka yang tidak sepertinya sebagai musyrik atau ahli bid'ah.

Beragama Berdasar Quran Hadits

Sebelum kau membid'ahkan dan mengkufurkan orang, pelajari Quran dan Haditsmu secara benar, tidak sekedar copy paste dari Sheikh Google dan Orang-orang kemarin sore yang berfikiran sempit.

Wanita Shalihah adalah yg memenuhi diri dg rasa malu

dizaman akhir nanti orang-orang akan berzina disepanjang jalan,hingga untuk lewat orang-orang harus miminta mereka minggir dari jalan. Habib Muhammad Al Haddad

Kamis, 29 September 2011

Bolehkah kita selamatan untuk mayit?



KH. M. Ja’far Banjar bertanya kepada Assyeikh Muhammad ’Ali Bin Husain Al- Malikiy Al- Makkiy, denga kesimpulan pertanyaan sebagai berikut :
Ada ahli waris seorang mayyit, mereka telah sama berumur dewasa. Berturut-turut tiga, lima atau tujuh malam mereka mengundang dan menjamu jamaah untuk baca Al-Qura’an, tahlil dan do’a. Dengan maksud pahalanya dihadiahkan kepada ruh si mayyit tersebut. Adakah amal-amal tersebut bermanfaat bagi si mayyit ? ataukah termasuk bid’ah tercela ?
Jika bermanfaat itulah memang yang kami maksud, sesuai dengan isi kitab Irsyaadat Assaniyah, dan sesusai pula dengan isi Fatawi Kubro oleh Assyeikh Ibnu Hajar. Juga didalam Sohihul Bukhoriy terdapat keterangan :
أي ألإسلام خير ؟ فقال " تطعم الطعام و تقرىء السلام على من عرفت و من لا تعرف "
Kelakuan Islam mana yang terbaik ? maka Nabipun menjawab : engkau berikan makanan dan engkau ucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak kau kenal.
Sedang kitab fathul Bari menjelaskan, bahwa perkataan “ ith’am “ (memberi makanan) yang di muat dalam hadits di atas adalah mencakup pengertian “ menjamu tamu dan lainnya “.
Menjawab pertanyaan tersebut setelah membaca basmallah, hamdalah, shalawat dan salam kepada Rasulullah s.a.w., Assyeikh Muhammad ’Ali Bin Husain Al- Malikiy Al- Makkiy meneragkan uraian yang keringkasannya sebagai berikut :
Dari nash-nash hukum yang tercantum didalam Madzhab Empat mengenai masalah diatas, dapat ditarik kesimpulan :
1. Kesimpulan Pertama
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti di atas tanpa diperselisihkan hukumnya adalah “ bid’ah madzmumah” (bid’ah tercela).
2. Kesimpulan Kedua
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti di atas, hukumnya :
- Ada kalanya bid’ah muharromah (bid’ah yang diharamkan).
- Adakalanya bid’ah makruhah (bid’ah yang dimakruhkan ) dan.
- Adakalanya bid’ah mandubah (bid’ah yang disunnahkan).
3. Kesimpula n Ketiga
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas, jika tiada dalil lain yang memperbolehkan, maka hukumnya tetap “ bid’ah muharromah “ atau paling ringan “ bid’ah makruhah ”.
Jika ada dalil lain yang memperbolehkannya maka hukumnya tafsil (terperinci), yaitu :
- adakalanya tetap bid’ah muharromah atau bid’ah makruhah.
- Adakalanya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan dibawah.

PENJELASAN KESIMPULAN PERTAMA
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas dihukumi bid’ah madzmumah, alasanya adalah :
1. Hadits Nabi s.a.w. :
ما أخرجه لإ مام أحمد في مسنده وأبوداود و الترمذى وابن عبدالله بن جعفر ثال : لما قدم خبر موت أبى , قال صلى الله عليه وسلم لأهل بيته " اصنعوا لآل جعفر طعا ما وابعثوا به إليهم . فقد جاء هم ما يشغلعم عته (كما فى الجامع الصغير)

Hadits yang dikeluarkan oleh Imam ahmad didalam Musnadnya dan oleh Abu Dawud, Turmudziy, Ibnu majjah dan Al-Haakim kesemuanya dari Abdullah Bin Ja’far. Abdullah berkata :” ketika sampai berita wafatnya ayahku, bersabdalah Rosulullah s.a.w. kepada keluarganya : “ buatkanlah keluarga ja’far makanan dan kirimkan kepada mereka. Sungguh mereka telah kedatangan keadaan yang membuat mereka lupa akan makanan “ (sebagaimana dicantumkan didaalm Al-Jamius Shoghir).
Berdasarkan hadits ini , maka yang tepat dan sesuai dengan sunnah rasulullah s.a.w. adalah:
• Keluarga mayyit yang seharusnya dibuatkan /diberi makanan oleh para tetangga dan kerabat.
• Bukan sebaliknya, artinya ; bukan hadirin yang harus diberi jamuan oleh keluarga mayyit.

2. Jamuan kepada hadirin oleh keluarga mayyit pada hari kewafatan, adalah tradisi jahiliyyah. Tidak patut kiranya dicontoh oleh kaum Muslimin. Memang orang-orang kafir sudah biasa mengadakan walimah diwaktu berduka cita. Padahal yang semestinya.

PENJELASAN KESIMPULAN KEDUA
Jamuan oleh keluarga mayyit tersebut diatas :
1. Adakalanya dihukumi Bid’ah Muharromah, yaitu bilamana jamuan tersebut sengaja diadakan untuk niahah (untuk membangkitkan tangis dan kesedihan) jamuan seperti ini walaupun diwasiatkan oleh mayyit, tidak boleh dilaksanakan. Adapun adlilnya :

ماَرَوَاهُ أحمد وَبنُ ماَجَه بإسنَادٍ صَحيح عَن حريربن عبدالله رضى الله عنهما , قال : كنّا نعدّ الإجتماع إلى أهل الميّتِ وصنعَهمُ الطعامَ من النياحَةِ .
“ Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengansanda yang Shohih dari sahabat Jarir bin Abdillah r.a. beliau berkata : “ kita menghitung (memandang) pertemuan hadirin dirumah keluarga mayyit dan penjamuan makan oleh keluarga mayyit itu termasuk niahah “.
Catatan :
- Niahah artinya menampakkan duka cita yang keterlaluan, seperti menangis keras dengan mengucapkan bermacam kata penyesalan, memukul-mukul kepala, pipi atau dada, berpakaian compang camping, membanting piring dsb. Hukum Niahah adalah haram.

2. Adakalanya dihukumi Bd’ah Makruhah, bila ada wasiat mayyit, untuk itu boleh dilaksanakan. Yaitu kalau tujuan jamuan hanyalah untuk memberi makan orang-orang yang berta’ziyah, bukan untuk keperluan niahah. Karena perkumpulannya keluarga mayyit di susatu tempat untuk keperluan menerima ta’ziyah itu hukumnya makruh. Demikian madzhab para Ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah menurut qoul yang shohih.
3. Adakalanya dihukumi Bid’ah Mandubah, jika dilaksanakan mendapat pahala. Yaitu sekiranya jamuan tersebut dimaksudkan untuk manghindari omelan orang-orang bodoh yang biasa mencela kehormatan keluarga mayyit, kalau mereka tidak diberi jamuan, hukum ini dikiyaskan dengan hukum mencubit hidung yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. kepada orang yang terpaksa memutus dan meninggalkan solatnya waktu ia bermakmum solat jama’ah karena kedatangan hadats. Para Ulama’ memberikan alasan bahwa perintah Nabi s.a.w. tersebut. Adalah menjaga kehormatan orang yang terkena hadats tadi. Karena meninggalkan sholat tanpa cara ini akan menjadi omelan orang, dengan kata lain untuk menutup timbulnya suudzon ( buruk sangka ).

PENJELASAN KESIMPULAN KETIGA
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas tetap dihukumi Bid’ah Makruhah, jika disamping Hadits Abdullah bin Ja’far dan atsar Jarir bin Abdillah tadi ternyata tidak ada Hadits lain yang memperbolehkan keluarga mayyit mengadakan jamuan dirumahnya untuk para hadirin yang berta’ziyah atau yang di undang.
Bila ternyata ada Hadits lain yang memperbolehkannya, maka hukumnya adalah tafsil (harus diperinci). Sebagaimana nati akan dijelaskan. Mengenai jamuan makan oleh keluarga mayyit ini ada Hadits yang melandasinya, yaitu hadits yang diriwayatkann oleh Abu Dawud didalam Sunan_nya dan oleh Al-Bayhaqiy dalam kitab Dalailun Nubuwwah, yang lafalnya menurut baihaqiy :
عَن عاَصِم بن أبيه عن رَجُلٍ مِنَ الأنصَار , قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلّم يُصى الحَافرُ يَقُولُ : أوسع مِن قِبَلِ رجليه , أوسع مِن قبل رَأسهِ فلمّا رجع استقبله داعى امرأتهِ أى زوجة المتوفىّ , فأجاب ونحنُ معه , فجئ بالطعام فوضع يدهُ ثمّ وضعَ القَومُ فأكلُوا و نضرنا رسولَ الله يَلُوكُ اللقمة فى فيه , أَجِدُ لحمَ شاةٍ أُخِذت بغير إذن أهلها, إنّى أرسَلتُ , إلى البقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشترى لى شاةً فلم تُوجدُ . فأرسلت إلى جار لى قداشترى شاةً أن يُرسل بها إلىّ بثمنها قلم يوجد , فأرسلتُ إلى امرأتهِ فأرسلت إلىّ بها , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : أطعِمِى هذااالطعام الأسرى
“ Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya dari seorang Sahabat Ansar, berkatalah Sahabat itu : Kami telah keluar menyertai Rasululla s.a.w. mengiring jenazah, maka kulihat Rasulullah berwasiat kepada penggali kuburan. Kata beliau : “ perluaslah kedua arah kakinya ! perluaslah arah kepalanya ! “ setelah beliau pulang ditemuilah oleh pengundang dari pihak istrinya, yakni isteri mayyit. Maka beliaupun menerima undangan itu dan kami menyertainya. Lalu dihidangkanlah makanan, maka beliau mengulurkan tanganya, kemudian hadirin pun mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan. Kemudian bel;iau bersabda : “ Kujumpai daging kambing yang telah diambil tanpa seizin yang empunya “. Maka segeralah isteri mayyit itu berkata : Ya Rasulullah ! sesungguhnya telah saya suruh orang ke Baqi’, yaitu tempat dimana dijual kambing, agar membelikan saya seekor kambing. Tetapi tak didapatkan. Lalu saya suruhan keistrinya, kemudian dikirimkannya kambing itu kepada saya. Maka Rasulullah s.a.w. pun bersabda : “ berikanlah makanan ini kepada para tawanan ” .
Di dalam Hadits ini terdapat beberapa hal, yaitu :
- kambing tersebut sudah terlanjur disembelih dan dijadikan hidangan, sedangkan yang empunya / yang berhak menjual / yang harus dimintai halalnya belum didapat / belum datang.
- Hidangan menghadapi rusak kalau tidak segera dimakan, walaupun makanan itu belum halal.
- Itulah sebabnya maka Rasulullah s.a.w. menyuruh memberikannya kepada tawanan (yaitu orang – orang kafir ) agar tidak mubadzir.
- Istri mayyit tersebut harus mengganti harga kambing tadi, berhubung telah menyembelihnya.
- Uang pengganti harga kambing inilah yang merupakan sodaqoh untuk ruh jenazah tadi.
- Dan yang paling penting, adalah kesudian rasulullah s.a.w. hadir dalam undangan jamuan makan/selamatan oleh keluarga mayyit tersebut, yang menjadi landasan dasar bagi hukum bolehnya mengadakan jamuan seperti itu.

Yang perlu di perhatikan :
1. Hadits Abdullah bin Ja’far dan Atsar Jarir adanya jamua makan oleh keluarga mayyit kepada hadirin, sebagaimana diuraikan diatas.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ashin bin Kulaib diats, bermakna memperbolehkannya.
3. Jadi Hadits - hadits ini sepintas lalu nampaknya kontradiktif ( bertentangan satu sama lain ).

Benarkah Hadits – hadits itu kontradiktif ?
Sama sekali tidak, karena masing-masing pada hakekatnya mempunyai arah / sasaran tertentu :
1. Hadits Abdullah bin Ja’far dan Atsar Jarir bin Abdillah itu, hendaknya diarahkan kepada pengertian bahwa dihukumi bid’ah muharromah atau bid’ah makruhah, kalau “ jamuan oleh keluarga mayit tersebut di ambil dari harta peninggalan si mayyit “.
- sedang si mayyit masih mempunyai tanggungan hutang,
- atau dikalangan ahli waris ada anak kecil yang belum sah tindakannya,
- atau dikalangan ahli waris sedang dalam bepergian,
- atau ada yang belum diketahui dengan pasti rela tidaknya jamuan diambil dari harta peninggalan mayyit itu.
2. Sedang Hadits Ashim bin Kulaib, hendaknya diarahkan kepada pengertian bahwa jamuan oleh keluarga mayyit tersebut dihukumi sunnah, kalau :
- harta diambil dari milik sendiri dari orang tertentu dikalangan ahli waris, bukan dari harta peningggalan yang belum dibagi,
- atau dari harta peninggalan tersebut, kalau ahli warisnya hanya terdiri dari seorang yang tertentu tadi dan dialah yang memberikan untuk jamuan tersebut.
- Atau dari sepertiga harta peninggalan , kalau oleh simayyit telah diwasiatkan untuk penyelenggaraan jamuan tersebut.

Ketetapan ini diambil berdasarkan Qa’idah Ushulul Fiqh, bahwa mempergunakan dua dalil dengan mengumpulkan kedua kesimpulannya dan mengelakkan sifat kontradiksinya (pertentangannnya) adalah lebih diutamakan daripada membuang salah satu dalil tersebut. Hanya karena tampaknya kontradiktif, jadi perhatikannlah secara seksama. Wallohu a’laam bisshowab.
TAMBAHAN
Pada akhir fatwanya, Seikh Muhammad ‘Ali Al-Malikiy, menambahkan :
Ketahuilah, bahwa penduduk jawa pada umumnya jika seorang dari mereka wafat, datanglah kerumah keluarga mayyit itu orang banyak dengan membawa sesuatu, seprti beras yang msih mentah. Setelah mereka berikan beras itu kepada keluarga mayyit, lalu mereka masakkan dan mereka berikan dalam keadaan matang kepada keluarga mayyit serta pada hadirin, dengan maksud melaksanakan Hadits yang artinya :
“ Buatkan Keluarga Ja’far makanan “
Dan karena mengharapkan pahala amal yang ditanyakan hukumnya diatas, bhakan mengharapkan pahala menjamu yang manfaatnya diperuntukkan ruh mayyit.
Karena Al “allamah As-Syarqawiy didalam sarah Tajridil Bukhoriy yang telah menerangkan sebagai berikut :
“ Yang Shohih, bahwa pertanyaan, yakni pertanyaan qubur itu hanyalah sekali, tetapi katanya (waqila) : orang mu’min didalam kuburnya diuji selama tujuh subuh, sedang orang-orang kafir di uji selama empat puluh subuh. Sehubungan dengan itu, maka mereka suka sekali menyedekahkan makanan tersebut selama tujuh hari dari waktu dikuburkannya mayyit “.
Wallohu a’laam bisshowab.

Urgensi Dzikir dan Kebolehan Dzikir Berjamaah


Mengapa Kita Harus Berdzikir?

1. Allah berfirman :
…ألا بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ
… Alaa bi dzikriLLaahi that-mainnul Quluub.
…. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

2. Al Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: «يَقُولُ اللّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي. وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي. إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي. وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلأ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ. وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْراً، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعاً. وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعاً، تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعاً. وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: RasuluLLah bersabda : Allah berfirman (dalam hadits qudsi) : “Aku (menentukan) berdasarkan persangkaan hambaKU terhadapKU. Aku bersamanya ketika dia mengingatKU. Apabila dia mengingatKU dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam dzatKU. Apabila dia mengingatKU di majelis, niscaya Aku mengingatnya disuatu majelis yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekatiKU dalam jarak sejengkal, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak satu hasta. Apabila dia mendekatiKU satu hasta, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak satu depa. Apabila dia datang kepadaKU dengan berjalan, niscaya Aku akan datang kepadanya dengan berlari.

Bolehkah berdzikir berjamaah?

1. Qs. Al Kahfi 24
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بالغَدَاةِ وَالعَشِيّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْناكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الحيَاةِ الدُّنْيا
28. dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
2. al Hadits
عن أبي هريرة قال: قال رسولُ الله: إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُرُقٍ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْماً يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُم، قَالَ: فَيَحِفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ عَزَّوَجَلَّ ـ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ: مَايَقُولُ عِبَادِي؟ قَالَ: تَقُولُ: يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ. قَالَ : فَيَقُولُ: هَلْ رَأَوْنِي؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: لاَوَاللهِ مَارَأَوْكَ. قَالَ: فَيَقُولُ: كَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأََوْكَ كَانُوا أَشَدُّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدُّ لَكَ تَمْجِيْداً، وَأَكْثَرُ لَكَ تَسْبِيْحاً. قَالَ: يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُوْنِي؟ قَالَ: يَسْأَلُوْنَكَ الجَنَّةَ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأََوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لاَوَاللهِ يَا رَبِّ مَارَأَوْهَا. قَالَ: فَيَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟ قاَلَ: يَقُولُونَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدُّ عَلَيْهَا حِرْصاً، وَأَشَدُّ لَهَا طَلَباً وَأَعْظَمُ فِيْهَا رَغْبَةً. قَالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ قَالَ: يَقُولُونَ: مِنَ النَّارِ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَارَأَوْهَا. قَالَ: يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْهاَ كَانُوا أَشَدُّ مِنْهَا فِرَاراً، وَأَشَدُّ لهَاَ مَخَافَةً. قَالَ: فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ. قَالَ: يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ فِيْهِم: فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ، إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ. قَالَ: هُمْ الجُلَسَاءُ لاَيَشْقِى جَلِيْسُهُمْ.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. beliau berkata: Nabi bersabda : “ Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat yang selalu berputar-putar (bertawaf) di jalan-jalan mencari ahli dzikir, ketika mereka menemui suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka berkata : “wahai kaum sampaikan hajatmu” RasuluLLah berkata : kemudian para malaikat itu menaungi kaum yang sedang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga langit dunia. Allah kemudian bertanya kepada mereka (dan Allah sebenarnya lebih tahu dari mereka) : Apa yang dilakukan hambaku? Malaikat menjawab: “mereka membaca tasbih, takbir dan tahmid.” “apakah mereka melihatKU? Tanya Allah. Malaikat menjawab: “tidak ya Allah, mereka tidak melihatMU” “bagaimana bila mereka melihatKU” tanya Allah, Malaikat menjawab: “mereka akan menambah frekwensi tasbih, takbir dan tahmidnya kepadaMU.” Allah bertanya: “apa yang mereka minta dariKU? Malaikat menjawab: “mereka meminta surga” Allah bertanya: “apakah mereka melihat surga?” tanya Allah, Malaikat menjawab: “ Tidak ya Allah” Allah bertanya: “bagaimana anda mereka melihat surga?” tanya Allah, Malaikat menjawab: “mereka akan bertambah-tambah ingin mendapatkan surga dan berusaha mendapatkannya.” Allah bertanya: “dari hal apakah mereka ingin memohon perlindungan?” Malaikat menjawab: “ mereka mohon perlindungan dari siksa neraka” “Apakah mereka melihat neraka?” Tanya Allah. Malaikat menjawab: “tidak ya Allah” “bagaimana bila mereka melihatnya?” Tanya Allah. “bila mereka melihat neraka mereka akan berusaha lari kencang darinya dan sangat takut atasnya.” Jawab Malaikat. Kemudian Allah berfirman: “maka saksikanlah wahai malaikat bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka” salah seorang malaikat kemudian berkata pada Allah:”(tapi) diantara mereka ada orang-orang yang tidak termasuk ahli dzikir.” Allah berkata: “orang-orang itu termasuk mereka, mereka tidak merasa tercelakai karena kehadiran orang-orang itu” HR. Bukhari Muslim.

عن أنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إِذَا مَرَرْتُم بِِرِيَاضِ الجَنَّةِ فَارْتَعُوا. قَالَ: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ؟ قَالَ: حَلْقُ الذِّكْرِ
Diriwayatkan dari Anas : sesungguhnya RasuluLLah bersabda: “jika engkau melewati taman-taman surga, maka nikmatilah kemewahannya.” Sahabat bertanya: “apakah taman-taman surga itu? Rasulullah menjawab: “Majelis Dzikir!” HR. Ahmad dan Tirmidzi.

Ayat al Quran dan Hadits diatas menunjukkan bahwa dzikir berjamaah merupakan kesunnahan, sesuatu yang dianjurkan. Perhatikan kata-kata yang diarsir tebal:
1. orang-orang (alladzina: arab)
2. Kaum yang berdzikir (qauman: arab)
3. Majelis dzikir (halqu dzikr: arab)
merupakan petunjuk tentang diperbolehkannya dzikir berjamaah. Mereka yang menganggap majelis dzikir terlarang/bid’ah menganggap kalimat jamak itu tidak menunjukkan berjamaah, tapi sendiri-sendiri dengan argumen kalimat jamak otomatis berarti bersama-sama. Namun yang perlu dipahami, kalimat jamak itu juga tidak secara otomatis berarti bersama-sama tapi sendiri-sendiri. Karena itu secara otomatis argumen mereka tertolak.

Bolehkah berdzikir dengan suara keras/Jahr?
1. Abdullah Ibnu Abas r.a berkata: “semasa zaman kehidupan Rosulullah(SAW) adalah menjadi kebiasaan untuk orang ramai berdzikir dengan suara yang kuat selepas berakhirnya sholat berjamaah(HR.Bukhori)
2. Abdullah Ibnu Abas r.a berkata:”Apabila aku mendengar ucapan dzikir, aku dapat mengetahui bahwa sholat berjamaah telah berakhir(HR.Bukhori)
3. Abdullah Ibnu Zubair r.a berkata:”Rasululloh(SAW) apabila melakukan salam daripada solatnya, mengucap doa/zikir berikut dengan suara yang keras-”La ilaha illallah…”(Musnad Syafi’i)
4. Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)
5. “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir seusai orang orang melaksanakan sholat wajib dgn berjamaah sudah menjadi kebiasaan pada masa nabi SAW, kata Abdullah bin Abbas : ketika saya mendengar dzikir tersebut saya tahu bahwa orang2 sudah selesai melaksanakan sholat berjamaah (BUKHARI NO 841 )

Minggu, 14 Agustus 2011

Tentang Hadits Dlaif dan Nasiruddin al Bani

dikutip dari email ade hernowobroto

Bagi kaum Salafi & Wahabi, Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah ulama besar dan ahli hadis yang utama. Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat banyak dan sering dijadikan rujukan utama oleh kaum Salafi & Wahabi dalam menghukumi riwayat hadis. Yang sedemikian karena al-Albani sangat gemar meneliti dan mengomentari hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab para ulama. Pada puncaknya, al-Albani menyusun kitab-kitab khusus mengenai hadis-hadis shahih, dha'if (lemah), dan maudhu' (palsu), baik yang berkenaan dengan hadis-hadis yang ada di dalam kitab-kitab para ulama, maupun yang ia susun sendiri dengan tajuk silsilah.

Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan "hadis ini dishahihkan al-Albani" atau "al-Albani mendha'ifkan hadis ini".

Ada dua hal yang penting dalam pembahasan poin ini yang penulis anggap perlu diketahui oleh para pembaca, yaitu: 1. Status hadis dha'if. 2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis.

1. Status Hadis Dha'if (Lemah)

Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha'if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:

وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه . (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85)

"Dan Syaikh Abu 'Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha'ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha'ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini. " (Lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut:

من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: "إنه ضعيف بهذا الإسناد"، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق.

"Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha'if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, 'sesungguhnya hadis ini dha'if dengan jalur periwayatan ini', dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha'if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha'ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur periwayatan hadis).

Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha'if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha'if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha'if tersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.

Hadis dha'if berbeda dari hadis maudhu' (palsu). Hadis dha'if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini:

مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)

"… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma' (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha'if (lemah) di dalam fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) " (lihat Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).

باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)

"Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha'il al-a'mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa'izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)

"(Ibnu Katsir) berkata: 'Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu' (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.

Kaitannya dengan pembahasan bid'ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid'ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha'if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha'if tersebut tergolong fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) atau furu' (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit. Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:

واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)

"Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do'a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do'a, atau bacaan al-Qur'an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha'if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur'an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma'. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut." (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269).

Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha'if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid'ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid'ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha'if (lemah).

Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha'ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis, sebagaimana akan dibahas setelah ini.

2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani Dalam Menilai Hadis

Syaikh Nashiruddin al-AlBani adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis. Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur.

Akan tetapi, tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai berikut:

Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu'tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).

Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha'if dan maudhu' terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha'ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (5/338).

Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.

Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:

Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).

Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu.

Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 241-245 adalah :

1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita

2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter).

3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka'at.

4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.

5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka'at.

Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum'at sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi'ah), menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra' (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).

Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang "pantas" untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid'ah hanya karena dalilnya didha'ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-'Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya.

Jumat, 15 Juli 2011

Syekh Yusuf – Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang



dikutip dari alhabaib Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Terlibat pergerakan naasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.

Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.

Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Menekuni jalan dakwah

Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).
Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.

Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.

Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.

Rabu, 13 Juli 2011

Dibalik Pemujaan Salafi Wahabi


Islam sama sekali tak bisa dilepaskan dari sosok Baginda Nabi SAW. Beliau adalah insan yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia dengan agama yang sempurna ini. Tiada sosok yang patut diagungkan di muka bumi melebihi Baginda Nabi SAW. Segenap keindahan fisik dan budi pekerti terdapat dalam figur Baginda Rasulullah SAW. Mencintai Baginda Nabi SAW adalah bagian dari mencintai Allah SWT. Beliau bersaba:

مَنْ أَحَبَّنِي فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ وَمَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطاَعَ اللهَ

“Barangsiapa mencintaiku, maka ia benar-benar telah mencintai Allah SWT. Barangsiapa menaatiku, maka ia benar-benar telah taat kepada Allah SWT.”

Cinta haruslah disertai dengan penghormatan dan pengagungan. Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan manusia agar mengagungkan sosok Baginda Nabi SAW. Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan mengagungkan Rasul-Nya.”

Cinta para sahabat kepada Baginda Rasul SAW adalah cinta yang patut diteladani. Dalam hadits-hadits disebutkan bagaimana para sahabat saling berebut bekas air wudhu Baginda Nabi SAW. Meski hanya tetesan air, namun air itu telah menyentuh jasad makhluk yang paling dekat dengan Sang Pencipta. Karena itulah mereka begitu memuliakannya dan mengharap berkah yang terpendam di dalamnya. Ketika Baginda Nabi SAW mencukur rambut, para sahabat senantiasa mengerumuni beliau. Mereka ingin mendapatkan potongan rambut beliau meski sehelai. Dengan rambut itu mereka hendak mengenang dan mengharap berkah Nabi SAW. Demikianlah rasa cinta para sahabat kepada Baginda Nabi SAW.

Primitif

Apa yang berlaku saat ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta. Di sana orang-orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sama sekali tidak menghormati beliau SAW. Mereka bahkan melecehkan beliau dan melakukan perbuatan yang teramat tidak pantas kepada sosok sebesar beliau. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau selama 28 tahun, yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh keterlaluan!

Fakta ini belakangan terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi SAW. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang berwenang.

Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata. Si pewawancara terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi SAW adalah WC umum. Sami Angawi merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia kemudian mengungkapkan harapannya, “Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah SWT takkan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasul SAW dan tempat turunnya wahyu selama 13 tahun.”

Ulah jahil Wahabi itu tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi SAW adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tak pandai menghargai nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002 lalu, mereka meluluhkan masjid cucu Nabi, Imam Ali Uraidhi menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau, dan Tahun 2010 wahabi menghancurkan Masjid Kucing digunakan sebagai jalan raya.

Selama ini kelompok Wahabi berdalih bahwa penghancuran tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka sekadar mengantisipasi agar tempat-tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan. Akan tetapi dalih mereka agaknya kurang masuk akal, sebab nyatanya mereka berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar dan mentereng untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Syekh al-Utsaimin. Bandingkan perlakuan ini dengan perlakuan mereka kepada Baginda Nabi SAW. Mereka merobohkan rumah Baginda Nabi SAW dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum, kemudian membangun gedung megah untuk Al-Utsaimin. Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi mereka? Baginda Rasulullah SAW ataukah Syekh al-Utsaimin?

Bangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalamnya terdapat benda-benda peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin.” Sungguh ironis, mengingat mereka begitu getol memberangus semua peninggalan Baginda Nabi SAW. Ulama mereka bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi SAW. Beruntung, sebagian benda peninggalan beliau telah dipindahkan ke Turki.

Haul Wahabi

Wahabi melarang keras pengkultusan terhadap diri Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sendiri melakukan pengkultusan terhadap diri Syekh al-Utsaimin. Mereka membid’ahkan peringatan haul seorang ulama atau wali, akan tetapi belakangan mereka juga menghelat semacam haul untuk Syekh al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim.” Betapa ganjilnya sikap kelompok Wahabi ini.

‘Haul’ al-Utsaimin mereka adakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin. Rangkaian acara haul itu dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Quran, dilanjutkan sambutan-sambutan berisi pujian terhadap almarhum. Sambutan pertama disampaikan Ketua yayasan ar-Rusyd sekaligus Presiden Asosiasi Penerbit Saudi, yang memuji peran Syekh Utsaimin dalam penyebaran agama Islam. Sambutan selanjutnya disampaikan Abdullah, putra Utsaimin, kemudian Atase Kebudayaan Saudi Muhammad bin Abdul Aziz Al-Aqil. Yang disebutkan belakangan ini banyak mengulas manakib Syekh al-Utsaimin dengan menjelaskan tahun lahir dan wafatnya. “Perayaan ini adalah sedikit yang bisa kami persembahkan untuk mendiang Syekh Utsaimin,” ujarnya.

Acara haul ditutup dengan saling tukar tanda kehormatan antara Yayasan ar-Rusyd, Yayasan Utsaimin, Atase Kebudayaan dan Deputi Menteri Kebudayaan dan Informasi. Begitu pentingnya perayaan untuk Utsaimin ini sampai-sampai seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:

وَاللهِ لَوْ وَضَعَ اْلأَناَمُ مَحَافِلاَ # مَاوَفَتِ الشَّيْخَ اْلوَقُورَحَقَّهُ

“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”

Syair itu menunjukkan pengkultusan orang-orang Wahabi terhadap Syekh Utsaimin. Pengagungan yang kebablasan juga mereka berikan kepada pendiri aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Seorang Mahasiswa Universitas Riyadh pernah memprotes dosennya, Dr. Abdul Adhim al-Syanawi, karena memuji Rasulullah SAW. Sang dosen menanyakan apa penyebab si mahasiswa membenci Nabi SAW? Mahasiswa itu menjawab bahwa yang memulai perang kebencian adalah Baginda Nabi sendiri (sambil menyitir hadits seputar fitnah yg muncul dari Najed, tempat kelahiran Muhamad bin Abdul Wahab). “Kalau begitu, siapa yang kamu cintai?” tanya sang dosen. Lalu si mahasiswa menjawab bahwa yang dicintainya adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Selanjutnya sang dosen menanyakan alasan kecintaan mahasiswanya itu. “Karena Syekh Muhammad Abdul Wahab menghidupkan sunnah dan menghancurkan bid’ah,” Jawab mahasiswa itu. (kisah ini dicatat Ibrahim Abd al-Wahid al-Sayyid,dalam kitabnya, Kasf al-Litsam ‘an Fikr al-Li’am hlm.3-4.)

Sungguh benar Baginda Nabi SAW. yang dalam salah satu hadits beliau mengisyaratkan bahwa akan ada fitnah (Wahabi) yang bakal muncul dari Najed. Isyarat itu menjadi nyata semenjak munculnya Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed yang dengan bantuan kolonial Inggris mencabik-cabik syariat Islam.

Syekh Utsaimin adalah salah satu penerus Muhammad bin Abdul Wahab. Ia juga gencar menyebarkan fitnah lewat tulisan-tulisannya. Salah satu fitnah itu seperti tertera di dalam karyanya, al-Manahi al-Lafdziyyah hal 161. Di situ ia menulis:

وَلاَ أَعْلَمُ إِلىَ سَاعَتيِ هَذِهِ اَنَّهُ جَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اْلخَلْقِ مُطْلَقاً فيِ كُلِّ شَئٍْ

“Dan saya tidak mengetahui sampai detik ini bahwa Muhammad adalah makhluk Allah yang lebih utama dari segala makhluk apa pun secara mutlak.” Agaknya kalimat inilah yang membuat penganut Wahabi lebih mengagungkan Utsaimin dari pada Baginda Rasulullah SAW….!

Setelah membaca tulisan ini, anda bisa membuat kesimpulan sendiri, siapakah yang bathil dalam beraqidah sebenarnya?????

Hizbut Tahrir II


Oleh: KH As’ad Said Ali
Boleh dikatakan, awal mula masuknya gagasan Hizbut Tahrir dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.



Tujuannya semata untuk membantu pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam mulai dikaji serius.


Para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.


Satu dekade kemudian, tepatnya pada dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat umum dengan cara door to door. Tahap pertama, penyampaian dakwah pada orang tua mahasiswa. Kedua, seiring dengan waktu lulusnya para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade 2000-an.


Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi. Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat, sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah (Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad Al-Khaththath (Indonesia).


Konferensi tersebut juga menjadi penanda lahirnya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, dan sejak itu mulai memproklamirkan diri sebagai organisasi politik yang berideologikan Islam. Dalam konteks HT, pembentukan partai berarti dicapainya tahap kedua perjuangan yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafaul ma’ al ummah).



Tujuan Politik


Bertitik tolak dari pandangan Taqiyuddin An-Nabhani bahwa dunia Islam harus terbebas dari segala bentuk penjajahan, maka mendirikan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah keharusan. Khilafah yang dimaksud adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat.


Dengan tujuan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah, maka Hizbut Tahrir telah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. Dengan atas dasar itulah maka seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pemikiran dan dalam perjuangan politik.


Adapun alasan mengapa perlu mendirikan khilafah Islamiyah karena semua negeri kaum muslimin dewasa ini, tanpa kecuali, adalah termasuk kategori Darul Kufur, sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus Hizbut Tahrir, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim.


Konteks Ideologi dan Perkembangan di Timur Tengah


Sesungguhnya, dasar utama gagasan HT adalah seruan untuk menerapkan Islam secara komprehensif. Kemunduran Islam, kata Taqiyuddin (pendiri gerakan HT), disebabkan oleh ditinggalkannya penerapan Islam secara kaffah. “Kemunduran mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran agama, mengabaikan qiyadah fikriyah” tandas Taqiyuddin pada tahun 1953. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali keagungan Islam, solusi tunggalnya adalah menerapkan seluruh sistem Islam secara sempurna, tanpa ada kompromi dengan sistem-sistem lainnya.


Usaha revivalisme semacam ini, dalam beberapa segi memang bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan gerakan Ikhwanul Muslimun (IM). Kesesuaian ini dapat dilacak dari latar belakang Taqiyuddin di mana pada waktu belajar di Al Azhar, Mesir, Taqiyuddin pernah bergabung dengan jamaah IM. Seperti akan kita lihat nanti, pada periode awal perkembangannya ternyata gerakan HT didukung oleh para aktivis IM di Palestina.


Namun, IM dan HT mempunyai titik perseberangan yang krusial. Daulah Islamiah yang digagas IM sama sekali tidak memasukkan prinsip kekhilafahan. Bahkan, Daulah Islamiah dimasukkan dalam kerangka nation-state. Pengabaian prinsip ini ditolak Taqiyuddin. Baginya, semangat kembali ke Islam secara total tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya penerapan sistem politik kekhalifahan. Hanya dengan penerapan sistem ini, nilai-nilai Islam dalam diwujudkan dalam masyarakat muslim.


Yang dimaksud sistem kekhalifahan adalah suatu bentuk tunggal negara Islam yang meliputi seluruh wilayah penduduk Muslim (umat) tanpa ada batas nation-state –konsep yang juga ditolakTaqiyuddin karena dianggap sangat lemah. Konsep yang diacu adalah model kekhalifahan masa Khulafaur Rasyidin, di mana seorang khalifah diangkat melalui mekanisme baiat. Bagi Taqiyuddin, konsep kekhalifahanlah yang mampu dan terbukti mendorong kejayaan Islam. Oleh karena itu, perjuangan mewujudkan kembali kekhalifahan adalah neccessary condition bagi terwujudnya masyarakat muslim.


Konsep ini ditawarkan sebagai jawaban dari kemunduran Islam menghadapi penetrasi Barat. Sepintas, tawaran ini terkesan kembali ke masa lalu. Namun, para aktivis HT mampu mengeksplorasi gagasan ini sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme ataupun bentuk dominasi Barat lainnya. Tawaran ini menjadi kontekstual karena disebarkan di tengah masyarakat muslim yang merasa kecewa di tengah hegemoni kekuasaan Barat. Gagasan ini makin memperoleh tempat tatkala dihadapkan pada kegagalan eksperimen demokrasi ataupun bentuk negara modern lainnya di mana mayoritas warga negaranya adalah muslim.


Untuk itu, HT mengusung ideologi politik kekhalifahan. Dalam pandangannya, kekhalifahan adalah prototipe sistem pemerintahan Islam yang terbukti operasional selama berabad-abad. Untuk menguatkan gagasan ini, HT mengeksplorasi glorifikasi atau keagungan sejarah Islam masa kekhalifahan yang dipandang bermula dari Nabi Muhammad dan berakhir dengan keruntuhan Khilafah Usmani di Turki pada tahun 1924.


Gagasan-gagasan HT, sejak awal memang kurang diterima secara luas. Kelompok terbesar yang menentangnya adalah para aktivis pembaharuan Islam yang mengadopsi gagasan-gagasan modern, termasuk mereka yang memperjuangkan nasionalisme Arab, mereka yang mengadopsi paham sosialisme dan sebagainya. Kelompok kedua yang resistensinya kurang kuat adalah Ikhwanul Muslimun (IM). Pada mulanya, tokoh-tokoh IM, seperti Hasan Albana dan Sayyid Quthub berusaha merangkul Taqiyuddin an-Nabhani dalam barisan IM. Namun Taqiyuddin menolaknya dengan alasan IM dipandang terlalu moderat, utamanya karena perjuangan IM masih menggunakan kerangka nation-state, bukan kekhalifahan.


Karena itu, sejak awal dideklarasikan pada tahun 1953 di Al Quds (saat itu dibawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai Inggris) HT harus berseberangan dengan pemerintahan yang berkuasa dan juga para aktivis nasionalisme Arab.


Pemerintah Yordania segera melarangnya dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pengurus inti, tidak lama setelah partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr Abd al-Aziz al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan, Taqiyuddin kemudian dibebaskan.


Sejak saat itu, HT harus hidup secara underground, menjadi gerakan clandestine di Yordania dan Syria. Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus. Saat itu intelijen Syiria membawa Taqiyuddin ke perbatasan Syria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang sebelumnya melarangnya. Taqiyuddin lalu menyebarkan pemikirannya di Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya, Taqiyuddin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak itulah, gagasan dan gerakan HT harus disebarkan secara diam-diam. Dan secara diam-diam pula, pengaruhnya mulai menyebar ke kawasan Timur Tengah lainnya, terutama di Syria, Lebanon dan Yordania.


Meskipun demikian, Yordania dan Palestina adalah adalah tempat utama kaderasisasi dan pengembangan HT. Pergolakan Palestina yang tidak ada henti-hentinya menjadi ladang subur persemaian gagasan dan gerakan. Hal ini karena, pertama, Taqiyuddin penggagas dan ketua pertama HT lebih banyak bergerak di kawasan ini, sehingga memungkinkan untuk selalu melakukan kaderisasi. Kedua, Palestina membutuhkan kerangka ideologi yang lebih kuat guna memperjuangkan pembebasan tanah airnya dari Yahudi. Dalam konteks inilah gagasan dan gerakan HT menemukan ladang persemaiannya. Gerakan ini menawarkan kerangka alternatif yaitu membangun daulah Islamiyah berdasarkan prinsip kekhalifahan. Menolak segala sesuatu yang berbau Barat, termasuk konsep nation-state yang saat itu mulai diimplementasikan di sejumlah negara Timur Tengah. Penolakan ini tampaknya bertemu dengan realitas politik saat itu, di mana sejumlah negara Timur Tengah justru kurang all out dalam membantu perjuangan Palestina.


Tentu saja HT tidak sendirian. Pengaruh gerakan-gerakan Islam lainnya juga cukup berperan dalam meneruskan perlawanan terhadap Israel. Kekuatan Ikhwanul Muslimun umpamanya, tidak mungkin bisa diremehkan dalam memberikan kontribusi semangat jihad di kalangan penduduk Palestina.


Pengaruh HT ini sudah tampak dalam organisasi PLO. Khaled Hassan adalah salah satu pendiri PLO yang juga pendiri HT. Begitu Juga Sheh Assad Tamimi, ulama yang sangat dipandang di Palestina. Mereka adalah kader-kader HT yang cukup disegani. Kader utama HT lainnya adalah Sheh Abdul Qodim Zallum. Ulama yang juga berasal dari Palestina ini nantinya mewarisi kepemimpinan HT pasca meninggalnya Taqiyuddin pada tahun 1977. Tokoh penting lainnya adalah Sheh Ahmad Tamimi, tokoh spiritual Palestina. Mereka semua umumnya mengenal terlebih dahulu gagasan-gagasan IM. Namun, selanjutnya lebih memilih mengembangkan gagasan kekhalifahan. Pengaruh HT tersebut cukup terasa di dalam tubuh “Palestinian Islamic Jihad”. Kelompok jihad ini berbasis di Syiria yang didirikan oleh Shiekh Abdullah Ramadan Shallah dan Fathi Shaqaqi. Para aktivis HT umumnya memback-up kelompok ini.


Di samping mengilfiltrasi PLO dan gerakan lainnya, seperti Hisbullah dan Hammas, aktivis HT juga berusaha mempengaruhi sejumlah proses politik di Yordan. HT melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata Yordan pada tahun 1969 dalam upaya menggulingkan kekuasaan (kudeta). Namun upaya ini mengalami kegagalan. Hal yang sama dilakukan pada tahun 1971. Penyusupan ke tubuh militer juga dilakukan di Selatan Irak pada tahun 1972. Lagi-lagi, usaha ini mengalami kegagalan.


Sejumlah kudeta dan pembunuhan politik di Mesir, Jurdan, Tunisia, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya pada dekade 1970-an ditengarai melibatkan aktivis HT. Kudeta di Mesir tahun 1974 yang melibatkan Salih Sirriyah dan pembunuhan Anwar Saddat 1984, diduga melibatkan aktivis HT. Begitu juga usaha pembunuhan terhadap raja Husen, Jordan.


Kegagalan berturut-turut dalam sejumlah perebutan kekuasaan tersebut menyebabkan perkembangan gerakan HT semakin menurun. Pamornya memang kalah dibanding gerakan lainnya. Namun, Taqiyuddin tampaknya bersikukuh dengan garis politiknya untuk bergerak secara non-kooperasi dengan kekuatan yang menggunakan instrumen Barat. Hal ini karena HT memandang bahwa metode perjuangan tidak boleh dikompromikan.


Sifat radikalisme gagasan tersebut, karena dalam doktrin HT, penerapan syariah tidak bisa dilakukan secara bertahap. Abdul Qodim Zallum, pengganti Taqiyuddin, menyebutkan bahwa penerapan syariah harus bersifat menyeluruh dan sekaligus (one for all). Dengan mengutip beberapa hadist, Zallum berpendapat bahwa memerangi penguasa kufur adalah kewajiban. Penguasa kufur diidentifikasi adalah mereka yang tidak menerapkan hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian. Semua itu hajib diperangi dengan mengangkat senjata.


Meskipun gerakan HT terkonsentrasi di Yordania, Palestina dan Siria, melalui kader-kadernya, gagasan kekhalifahan ternyata mulai mendapat tempat di sejumlah negara. Pola persebarannya terutama melalui kampus-kampus. Pada bulan April 1967, HT telah beroperasi di Turki melalui sejumlah mahasiswa Jordan yang kuliah di Universitas Ankara. Gerakan ini mampu menarik minat mahasiswa dan akademisi Turki, termasuk Ali Nihat Eskioge, seorang astronom. Tokoh penting lainnya adalah Annan Mohammad Ali dan Amir Ercumend. Mereka secara terbuka telah berani menyebarkan pamflet yang berisi seruan menghidupkan kembali kekhalifahan. Akan tetapi, dengan segera gerakan ini ditekan oleh militer. Dan para pemimpinnya di tahan pada tahun 1967. Sejak saat itu, HT Turki kembali memasuki kehidupan clandstine. Kemunculannya kembali baru terjadi pada tahun 1985 dan 1986 dengan mengedarkan pamflet, ”konstitusi HT”. Namun, sekali lagi, aksi ini harus menghadapi tekanan dan sekitar 42 orang anggota HT harus ditahan. Termasuk Ahmad Kilikaya, salah satu tokoh penting HT Turki. Pemerintah Turki tampaknya terus memburu para pemimpin HT. Pada tahun 2001, Remzi Ozer, pemimpin HT dipenjarakan. Selanjutnya pada Mei 2003, Emir Yilmaz Celik dan 93 pengikutnya harus pula dipenjarakan.


Dalam masa kepemimpinan Taqiyuddin, perkembangan gerakan HT memang tidak sepesat IM. Namun, sel-sel gerakan ini pada dasarnya telah menyebar di sejumlah negara Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Eropa. Sekarang ini, HT mengklaim telah tumbuh di sekitar 40 negara. Setelah Taqiyudin meninggal pada tahun 1977, HT dipimpin oleh Abdul Qodim Zallum, tokoh HT yang berasal dari Palestina. Kepemimpinannya berlangsung hingga 2003. Setelah Zallum meninggal pada 2003, komando HT dipegang oleh Ata Ibnu Khalil Abu Rashta, alias Abu Yasin. Dia adalah orang Palestina yang sebelumnya telah menjadi jurubicara HT Yordan. Diyakini, Abu Rashta sekarang mengendalikan HT dari The West Bank. Abu Rashta didampingi oleh Khaled Hassan, pendiri organisasi Fatah (salah satu faksi yang tergabung dalam Palestine Liberation Organization) dan tokoh spritual HT yaitu Sheikh Asaad Tamimi.

Jumat, 08 Juli 2011

Hizbut Tahrir

Hizbuttahrir adalah pengikut Taqiyuddin An-Nabhani Al-Palesthini (Wafat 1400 H). Di antara kesesatan Hizbuttahrir dan bukti menyempalnya kelompok ini dari mayoritas umat Islam adalah pernyataan mereka bahwa orang yang meninggal dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka matinya adalah mati jahiliyah. Artinya menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya orang-orang penyembah berhala.

Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, seluruh orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati jahiliyah, sebab sejak saat itu dunia Islam vakum dari khalifah. Sementara Khilafah Islamiyah tertinggi yang mengurus seluruh keperluan umat Islam terputus sejak lama. Umat Islam yang pada masa sekarang tidak mengangkat kholifah, mereka seungguhnya mempunyai udzur (alasan yang diterima). Yang dimaksud umat Islam disini adalah rakyat, karena terbukti rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Lantas berdosakah mereka jika memang tidak mampu? Bukankah Allah Ta’ala berfirman:

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 268)
“Allah tidak membebankan terhadap satu jiwa kecuali apa yang ia sanggup melakukanya”. (Q.S. Al Baqoroh 268)

Lebih sesat lagi, Hizbuttahrir menyatakan bahwa seorang hamba adalah pencipta perbuatannya yang ikhtiari (dilakukan atas dasar kemauanya). Sementara hanya perbuatanya yang bersifat idlthirari (perbuatan yang di luar inisiatifnya seperti detak jantung, takut, menggigil karena dingin dan lain-lain) yang diciptakan oleh Allah. Dengan pernyataan ini, Hizbuttahrir telah menyalahi firman Allah:

الله خالق كلّ شيء (سورة الزمر: 62)
“Allah adalah pencipta segala sesuatu”. (Q.S. Az-Zumar 62). Segala sesuatu dalam ayat ini berarti tubuh manusia dan segala perbuatanya.

Mereka juga menyalahi firman Allah:

هل من خالق غير الله (سورة فاطر: 3)
“Adakah pencipta selain Allah?” (Q.S. Fatir 3).

Maksudnya tidak ada sang pencipta atau yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada (ARAB) kecuali Allah.

Juga menyalahi firman Allah:

قل إنّ صلاتي و نسكي و محياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له (سورة الأنعام: 162–163)
“Katakanlah (wahai Muhammmad) sesungguhnya sholatku dan nusuk (sembelihan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti Al hadid dan kurban Idul Adha)-ku, hidupku dan matiku adalah milik Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya”. (Q.S. Al An’am 162-163).

Pada ayat ini dengan jelas dinyatakan bahwa sholat dan nusuk yang merupakan perbuatan ikhtiyari, semuanya adalah ciptaan Allah tidak ada yang menyekutuiaNya dalam hal ini. Bahwa hanya Allah yang menciptakannya dan yang mengadakanya dari tidak ada menjadi ada.

Ayat-ayat tersebut semuanya menunjukan bahwa seluruh apa yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah. Semua benda (dzat) dan sifat-sifatnya seperti diam, bergerak, warna, fikiran, rasa sakit, rasa nikmat mengerti, lemah dan lain-lain, kesemuanya tidak lain ciptaan Allah. Manusia hanyalah berbuat, tidak menciptakan. Ini adalah paham yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan mayoritas umat Islam hingga kini.

Di antara ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia bukan pencipta perbuatanya, baik perbuatan yang bersifat ikhtiyari maupun idlthirari, adalah firman Allah:

فلم تقتلوهم ولكنّ الله قتلهم (سورة الأنفال: 17)
“Kalian tidaklah membunuh mereka, tapi Allah yang membunuh mereka”. (Q.S. Al Anfal: 17).

Sekalipun orang-orang muslim yang berperang dan membunuh, namun begitu -seperti yang dijelaskan ayat- Allah menafikan bahwa mereka membunuh secara hakiki. Karena para sahabat mati yang menjadi khitab (yang diajak bicara) meskipun mereka melakukan pembunuhan tetapi bukanlah mereka pencipta perbuatan membunuh tersebut yang mereka lakukan tidak lain hanyalah sisi kasab (kasab adalah apabila seorang hamba merngalahkan niat dan kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan dan pada itulah Allah menciptakan dan menampakan perbuatan mereka tersebut) dan dhahirnya saja. Pada hakikatnya Allah lah yang menciptakan perbuatan mereka tersebut dari tidak ada menjadi ada. Lanjutan firman Allah dari surat Al-Anfal tersebut:

وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى (سورة الإنفال :17)
“Dan tidaklah engkau melempar secara hakiki saat engkau melempar, tetapi Allah yang menciptakan perbuatan melempar yang telah engkau lakukan”.(Q.S. Al Anfal 17).

Pada ayat ini Allah menafikan perbuatan melempar dari Rasul Allah SAW dalam pengertian hakikat dan penciptaannya. Menafikan pengertian mengadakan dari tidak ada menjadi ada. Jadi maksud ayat tersebut : “Engkau wahai Muhammad tidaklah menciptakan perbuatan melempar yang terjadi dalam dirimu, akan tetapi itu adalah ciptaan Allah. Allah mengadakannya dari tidak ada menjadi ada”. Pada ayat ini Allah pada satu sisi menafikan perbuatan melempar dari Rasul Allah SAW, yaitu dari segi penciptaan atau mengadakan dari tidak ada menjadi ada dan menetapkan adanya perbuatan dari Rasul Allah SAW dari sisi lain, yaitu dari segi kasab, yakni Rasulullah SAW melakukan perbuatan melempar tetapi tidak melakukannya.

Dengan demikian keyakinan Hizbuttahrir jelas menyalahi kedua ayat ini lebih jelas lagi menyalahi ayat akhir. Imam Abu Hanifah berkata:

أعمال العباد فعل منهم و خلق الله
“Perbuatan-perbuatan hamba adalah perbuatan dari mereka dan ciptaan Allah”.

Inilah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam, baik mereka para ulama salaf (mereka yang hidup pada 300 tahun pertama hijriah ; yaitu periode Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiit Tabiin) maupun ulama khalaf (pasca periode salaf hingga kini). Pendapat yang menyalahi aqidah ini berarti telah menyalahi Al Qur’an dan Hadist Nabi. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW apabila kembali dari haji atau umroh atau berperang, beliau berkata:

لاإله إلا الله وحده لاشريك له نصر عبده وأعزّ جنده وهزم الأحزاب وحده
“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah yang menolong hambaNya, memenangkan tentaraNya dan Dia yang mengalahkan semua kelompok (musuh) dengan sendirian”.

Dalam hadist ini Rasullah menjadikan kekalahan semua kelompok musuh sebagai sesuatu yang murni ciptaan Allah SWT tanpa ada andil dari siapapun, padahal secara dhahir mereka, pasukan Nabi dan kaum muslimin telah mengalahkan musuh. Hadist ini cukup memberikan pemahaman yang sangat jelas. Namun begitu, masih banyak ayat lainnya yang memberikan pemahaman yang sama, bahwa manusia sama sekali tidak menciptakan perbuatannya. Di antaranya firman Allah SWT:

واصبر وما صبرك إلا بالله
“Dan sabarlah engkau (wahai Muhammad) dan tidaklah kesabaranmu kecuali dengan penciptaan Allah”. (QS. An-Nahl: 127)

Pada ayat lain Allah SWT berfirman:

وما توفيقي إلا بالله
“Dan tidaklah taufiqku (petunjuk kepada ketaatan) kecuali dengan ciptaan Allah”. (QS. Hud: 88).

Selasa, 05 Juli 2011

Kisah Tentang Tokoh MTA Yang Kabur


Sebagaimana dijelaskan dalam site resminya; Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.

Organisasi yang sekarang dipimpin oleh Ahmad Sukino ini, meskipun bertujuan melakukan pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an, namun dalam prakteknya cara pemahamannya sangat dangkal dan cenderung memahami sesuai keinginan nafsunya untuk membid'ahkan dan mengkufurkan orang Islam.

Meskipun sering menyalahkan dan membid'ahkan orang, ternyata organisasi ini tidak kebal kritik atau tidak mau diluruskan apalagi disalahkan. Salah satu buktinya, pada Pengajian di Wonosobo dalam tri wulanan jamaah tariqoh naqsabandiyah-kholidiyah, 27 Maret 2011, Gus Zuhrul Anam Pondok Pesantren Leler Cilacap, salah seorang menantu Mbah Kyai Maimun Zubair Sarang dan murid Abuya Sayyid Muhammad Alwy al Maliki, bercerita bahwa beliau baru saja didatangi kelompok garis keras MTA (Majlis Tafsir Al-Quran). Rombongan berjumlah 4 org, dipimpin "kiai"-nya langsung, Ahmad Sukino.

MTA menyatakan keberatan dg pengajian2 Gus Anam (GA) yg sering menyinggung2 MTA.
Gus Anam menjawab, bahwa dia menyinggung ajaran MTA hanya sekadar menggunakan hak jawab, karena ceramah2 MTA sering membid'ahkan&menyesat2kn amaliah2 umat Islam, khususnya NU. Gus Anam menyarankan agar MTA tdk usah menyinggung2 soal khilafiah dlm dakwahnya.

MTA tetap tidak bisa menerima penjelasan Gus Anam. Gus Anam kemudian mengusulkan debat terbuka di Banyumas difasilitasi perguruan tinggi dg guru2/tokoh MTA. Debat dsiarkan langsung di TV, diliput wartawan2 utk membuktikan siapa yg benar.
MTA tidak mau, alasannya agama bukan utk debat-debatan.
GA menjawab yg membuat masalah terlebih dahulu bukan dirinya, tapi MTA. Dan didalam Qur'an disebutkan "wa jadilhum billatiy hiya ahsan"

Meski sudah dijelaskan panjang, MTA tetap memaksa Gus Anam jangan menyinggung-nyinggung lagi MTA dalam tiap pengajiannya. Bosan bertemu dengan orang-orang bodoh tapi ngeyel, Gus Anam akhirnya mengambil kitab, tokoh-tokoh MTA disodori kitab diminta membaca kitab tersebut. Mengetahui akan dites bahasa Arab dan pengetahuan agamanya, rombongan MTA langsung bersiap pamit.
Gus Anam terus meminta agar salah satu rombongan MTA mau membaca kitab itu, tapi tetap tidak mau, bahkan mereka terus berdiri, dan pergi tanpa sempat menikmati minuman+makanan yg dhidangkan.

Kawan... cerita ini, seperti cerita-cerita lain tentang tokoh-tokoh wahabiyah yang selalu lari bila diajak berdebat atau berdiskusi sehat untuk membuktikan hujjah siapa yang sahih dan benar, bukan dalam rangka merendahkan mereka, namun agar anda semua tidak mudah terlena dengan jargon kembali kepada quran dan hadits. Terlebih bila jargon itu dipekikkan oleh orang yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ilmu yang dimilikinya, dan hanya berani bermain petak umpet, seperti anak kecil yang tidak perlu diladeni apalagi digugu dan ditiru... waspadalah!

Senin, 04 Juli 2011

Abu Jahal Lebih Bertauhid?

Sebagaimana dikutip dalam blog warkop mbah lalar bahwa semakin banyak kita mengkaji wahabiyah, akan semakin membingungkan kita.

Salah satu contoh dalam kaifa nafhamu al tauhid karya Muhammad Basymil halaman 16 sebagaimana disitir dalam buku Radikalisme Sekte Wahabiyah halaman 71 ; sekte wahabiyah menyatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih bertauhid dan lebih murni imannya daripada umat Islam yang bertawasul kepada Allah melalui para nabi, wali dan orang-orang saleh.

Pernyataan ini sungguh mengherankan dan sulit diterima akal sehat. Orang yang nyata-nyata musyrik menyembah berhala dikatakan lebih murni imannya daripada orang mukmin yang bertawassul kepada Allah melalui para nabi, wali dan orang-orang shaleh. Bukankah ini sebuah kesesatan yang nyata? Dengan pernyataan ini, orang-orang wahabisecara tidak langsung telah menjadikan Abu Jahal lebih mulia daripada para sahabat, tabiin, pengikut tabiin karena para sahabat termasuk orang yang bertawasul melalui nabi karena memang RasuluLlah mengajarkannya.

Salah satu bukti ajaran tawassul yang diajarkan Nabi adalah perintah nabi kepada seorang yang sakit mata hingga penglihatannya hilang untuk berdoa dengan tawassul:

اللهم إني أسألك وأتوجه بنبيك صلى الله عليه وسلّم نبـي الرحمة يا رسول الله إني توجهت بك إلى ربـي في حاجتي هذه لتقضي لي اللهم فشفعه في

Hadits ini menurut para muhadditsin dishahihkan. Bagaimana mungkin seseorang yang menjalankan ajaran Nabi dianggap musyrik dan Abu Jahal dan Abu Lahab yang jelas-jelas memusuhi perjuangan Nabi malah disebut lebih bertauhid dan murni imannya?

Memakai Hirz/Jimat


dikutip dari blog sunni
Di antara keganjilan golongan Wahabi bahwa mereka mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah, mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Lalu bagaimana mereka menilai Abdullah ibn 'Amr ibn al 'Ash dan lainnya dari kalangan para sahabat yang telah melakukan hal itu yakni mengalungkan hirz-hirz tersebut pada leher anak-anak mereka yang belum baligh. Apakah mereka akan memvonis para sahabat itu dengan syirk ?!!!, lalu apa yang hendak mereka katakan tentang Imam Ahmad, Imam Mujtahid Ibn Mundzir yang telah membolehkan hirz. Cukuplah ini sebagai bukti bahwa kelompok Wahabi ini sesat karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf.

At-Tirmidzi dan an-Nasa-i meriwayatkan dari 'Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”, dalam riwayat Isma’il Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:

" أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه ومن شر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون "

Adalah sahabat Abdullah ibn 'Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di lehernya”. (dalam beberapa terbitan kitab al adzkar terutama yang diterbitkan oleh saudi arabia, kalimat dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh dihapus )

Al Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al Amali [Nata-ij al Afkar, h. 103-104] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari 'Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun". Kalaupun Ibn Baaz atau Muhammad Hamid al Faqqi melemahkan hadits ini, maka itu adalah sesuatu yang tidak benar, tidak berarti dan tidak perlu diambil karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh. Apalagi Amir al Mukminin fi al Hadits, Ibn Hajar al 'Asqalani telah menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibn Abi ad-Dunya [dalam kitab al 'Iyal, h. 144] meriwayatkan dari al Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubayr sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang". Dalam riwayat al Bayhaqi [ as-Sunan al Kubra, Jilid 9, hlm. 351] orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudhail.

Dalam kitab Masa-il al Imam Ahmad [h. 260] karya Abu Dawud as-Sijistani sebagai berikut:

§ “Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

§ Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakr berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud: Aku telah mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang menulis al Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

§ Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: Menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi?, beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

Dalam kitab Ma’rifah al ‘Ilal wa Ahkam ar-Rijal [ hlm. 278-279] dari Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata: telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata: “Tidak masalah mengalungkan hirz dari al Qur’an pada leher seseorang”.

Abdullah ibn Ahmad [dalam Masa-il al Imam Ahmad karya puteranya Abdullah, h. 447] berkata: “Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki Jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam, ia juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih dan ia menulis hadits Ibn Abbas, hanya saja ia melakukan hal itu ketika mendapatkan bala dan aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widz pada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya, aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya, aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat, aku melihat ayahku mengambil piring Rasul yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum, bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk obat ia usapkan pada kedua tangan dan mukanya”.

Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah [ 5/39-40] tersebut sebagai berikut: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al Hakam dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibn Abbas berkata: Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:

"بسم الله لا إله إلا هو الحليم الكريم , سبحان الله رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها ) [سورة النازعات / 46] (كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ) [الأحقاف / 35] (فهل يهلك إلا القوم الفاسقون) [سورة الأحقاف / 35]"

Dalam kitab al Ausath fi as-Sunan wa al Ijma’ wa al Ikhtilaf , Juz 1 h. 103-104 karya Ibn Mundzir disebutkan bolehnya memakai at-ta’widz (hirz).

Dalam kitab al A-daab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al Hanbali juga disebutkan bahwa Imam Ahmad menulis ta’widz untuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, membuat hirz untuk orang yang demam. Imam Ahmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan dan meriwayatkannya dari Ibn Abbas dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dari Rasulullah dalam 'Amal al Yaum wa al-laylah”.

Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra kebolehan memakai hirz dari beberapa ulama Tabi'in, di antaranya Sa’id ibn Jubayr, Atha’. Bahkan Sa'id ibn al Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta'widz dari al Qur'an. Kemudian al Bayhaqi berkata: “ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa (bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al Qur'an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq”.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

" إن الرقى والتمائم والتولة شرك " رواه أبو داود

Maknanya : “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik” (H.R. Abu Dawud)

Yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari 'ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.

Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada dua macam ; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

§ Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.

§ Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. umat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari 'ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i ini terdiri dari ayat-ayat al Qur’an atau dzikir.[]

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites