Pada Kyai, Ummat Berkiblat

Kyai Abdullah Kafabihi Machrus, Pondok Pesantren HM Lirboyo Kediri: Untuk apa seorang alim hidup bila ilmunya tak sedikitpun bermanfaat bahkan untuk dirinya sendiri.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, yaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan.

Penampilan Bukan Indikator Keimanan

KH. Muslim Imam Puro: Banyak orang telah merasa berislam sempurna saat jidatnya menghitam dan bercelana cingkrang, kemudian menuduh mereka yang tidak sepertinya sebagai musyrik atau ahli bid'ah.

Beragama Berdasar Quran Hadits

Sebelum kau membid'ahkan dan mengkufurkan orang, pelajari Quran dan Haditsmu secara benar, tidak sekedar copy paste dari Sheikh Google dan Orang-orang kemarin sore yang berfikiran sempit.

Wanita Shalihah adalah yg memenuhi diri dg rasa malu

dizaman akhir nanti orang-orang akan berzina disepanjang jalan,hingga untuk lewat orang-orang harus miminta mereka minggir dari jalan. Habib Muhammad Al Haddad

Minggu, 29 Juli 2012

Bahlul dan Syekh Junaid al Baghdadi


Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota
Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya
tentang Bahlul. Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang
Anda butuhkan darinya?” “Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid. Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang
gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu
lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya,
“Siapakah engkau?” “Aku adalah Junaid al Baghdadi,”kata syekh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul. Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada
di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan,
aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan. ”Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata, “Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi. Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.”Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!” Bahlul mendekati sebuah
bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya, “Siapakah engkau?” “Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid. “Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau
bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul. “Ya!” jawab sang syekh. “Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak
lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika. Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”
Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi. Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!” Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu
yang aku butuhkan darinya. Kalian tidak tahu itu.” Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan
dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?” “Ya, aku tahu!” jawab syekh itu.
“Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit. Tetapi syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!” Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengklaim bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang,
setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang
engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu.
Itulah mengapa diam adalah yang terbaik. Dan apa pun yang kau katakan
tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!” Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya. Syarh dari pen-tahkik : Anakku. Orang zaman sekarang
masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat
sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan,
sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin...
Semoga kisah ini bermanfaat untuk kita semua.Amiiin.........

Minggu, 15 Juli 2012

Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari Ulama Pejuang Ahlussunnah wal Jama’ah dan Pembela NKRI


Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdhatul Ulama (NU), yang lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzul-Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari pengasuh Pondok Pesantren Keras di sebelah Selatan Kota Jombang, yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan mulia. Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.

Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Dengan kemauannya yang keras mendalami ilmu agama, menjadikan dirinya sebagai musafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun beliau berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani dan Syekh Mahfudz At-Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar kitab Shahih Al-Bukhari.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain, setelah mendapat restu dan izin dari gurunya, KH. Kholil Bangkalan Madura, mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti “Kebangkitan Ulama“.
Berdirinya oganisasi NU ini mempunyai latar belakang tersendiri, yaitu ketika Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di sana. Buah pemikiran Muhammad Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Muhammad Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah, termasuk Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sendiri.
Adapun ide reformasi yang digagas Muhammad Abduh itu adalah: Pertama, mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya yang bukan berasal dari ajaran Islam . Kedua, reformasi pendidikan Islam; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern. Dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam ini bertujuan agar ummat Islam dapat memainkan kembali tanggung-jawabnya yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Kemudian dalam bidang agama agar ummat Islam dapat meninggalkan pola pemikiran bermadzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek-praktek tarekat.
Ide pemikiran Muhammad Abduh tersebut diterima oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari untuk membangkitkan semangat ummat Islam, tetapai beliau menolak agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan bermadzhab. Be;iau berkeyakinan bahwa tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadits tanpa mempelajari terlebih dahulu pendapat-pendapat para ulama madzhab. Untuk menafsirkan A-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan mengkaji kitab-kitab atau buku-buku dari para ulama, maka hanya akan menghasilkan pemutarbalikan fakta saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Begitupula dalam hal tarekat, beliau tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya saja, beliau berpesan agar ummat Islam harus berhati-hati apabila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren, dengan golongan yang tidak bermazhab itu memang seringkali tidak bisa dihindari. Puncaknya adalah saat Konggres Al-Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena, aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan dan terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai dari makam Rasulullah sampai para sahabat). Kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada para penguasa Arab Saudi. Atas restu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Komite Hijaz inilah yang pada 31 Januari l926 menjelma menjadi Nahdlatul Ulama (NU), yang artinya Kebangkitan Ulama.
Setelah berdirinya NU posisi kelompok tradisional semakin kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari diminta menjadi ketuanya. Beliau juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia
Kemudian, organisasi NU ini pun berkembang pesat dan menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia yang memiliki anggota hampir 30 juta jiwa. Pengaruh Hadhratusy Syaikh pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama para ulama lainnya. Hal itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menghormati dan merasa segan akan kewibawaan beliau.
Meskipun sudah menjadi tokoh penting dalam NU, beliau tetap cinta Indonesia, cinta integrasi bangsa, selalu bersikap lemah-lembut dan sangat toleran dalam menghadapi berbagai macam perbedaan pendapat. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Beliau berkata: “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,”


Dalam kitab karangan beliau, Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau banyak menulis tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman. Olehkarena itu, beliau mengantisipasi agar ummat Islam tidak fanatik pada golongan tertentu, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslimin. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalil mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan syara’ secara qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadits, dan pendapat para ulama terdahulu (ulama salaf shaleh).

Dalam kitab yang sama, beliau menyinggung masalah aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan mempengaruhi umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, Wahabiyah, yaitu kelompok puritan yang suka membid’ahkan, memusyrikkan, dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, Syi’ah Rafidlah yang suka mencaci para sahabat Nabi SAW, kelompok Ibahiyyun , yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya.
Selain itu, dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratu Syaikh memberikan nasehat kepada ummat Islam agar berhati-hati jangan sampai jatuh pada fitnah, yaitu orang yang tenggelam dalam lautan fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.

Hampir seluruh ulama di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syaikh” yang artinya “Maha Guru” kepada beliau, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam hal bermadzhab, beliau memandang sebagai masalah yang fundamental, guna memahami maksud sebenarnya yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari berbagai pendapat dari kalangan ulama-ulama besar khususnya Empat Imam Madzhab, yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutarbalikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau di hadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “sentral” pencetak para kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “diproduksi” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.

Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Olehkarena itu, tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”. Semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan hidupnya yang cukup panjang.

Pengabdian Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan yang mana pengabdian beliau terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab, ternyata kedua unsur itu tumbuh di dalam diri beliau. Di satu sisi beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di sisi lain beliau seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional, seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah di tanah air Indonesia.

Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi, Hadratus Syaikh menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :

“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan.Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak-anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, maupun kaum santri di pesantren-pesantren. Kemudian, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan tegas menolak dan menentangnya.

Melakukan “saikerei” menurut pandangan para ulama adalah hukumnya “haram” dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai “ruku” di dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk “sakerei” yang menyerupai ruku itu.

Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam tawanan Jepang, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Hadratus Syaikh sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dibebaskan dari penjara.

Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Kemudian pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).

Selain itu, dalam menghadapi penjajah Hadratus Syaikh Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah ditandatangani oleh Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari ulama pejuang Ahlussunnah wal Jama’ah dan pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia berpulang ke rahmatullah dan jenazahnya dimakamkan di lokasi pemakaman keluarga Pondok Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT dan menjadi panutan ummat Islam di seluruh Indonesia! Amiin yaa rabbal ‘aalamiin !

Minggu, 08 Juli 2012

Imam Qaffal Tukang Kunci Yang Alim

oleh : Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen Setelah Imam Syafi'i wafat tahun 204 H, murid-muridnya mulai menyebarkan fikih Sang Imam ke pelbagai penjuru. Sejatinya, mereka tidak hanya sekedar menyebarkan, akan tetapi juga mengembangkan dan bahkan melakukan ijtihad-ijtihad yang mandiri. Aktifitas penyebaran dan pengembangan ini melahirkan dua model, Model Iraq dan model Khurasan. Model Iraq dipimpin oleh Abu Hamid al-Ashfirayini dan Model Khurasan dipimpin oleh al-Qaffal as-Shaghir. Kedua model telah melahirkan ulama-ulama besar dalam tradisi Madzhab Syafi'iyah, hingga kemudian datang era Imam Rafi'i dan Imam Nawawi yang menyatukan kedua model tersebut. Sungguh menarik meneladani kisah al-Qaffal as-Shaghir --pendiri model Khurasan-- dalam memulai mencari ilmu. Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A'laam An-Nubala' bahkan meletakkannya sebagai entri dalam mendalami kehidupan beliau. Al-Qaffal arti persisnya adalah ahli pembuatan gembok dan kunci. Nisbah ini melekat pada diri beliau karena profesi belau memang membuat gembok dan kunci. Bahkan ia terkenal sebagai ahlinya. Pada suatu hari, dia membuat gembok berikut kuncinya super kecil seberat 1/4 daniq (1 daniq: kira-kira 0,496 gram), namun tidak terkenal seperti pembuat gembok sebelumnya yang membuat gembok seberat 1 daniq. Sahabat karibnya lalu memberi nasihat kepadanya: "Jika ingin dikenang sepanjang masa, maka lakukan itu dengan ilmu. Jangan dengan mencipta gembok!" Rupanya nasihat karibnya ini mengena di hatinya. Ia lalu berfikir tentang dirinya yang "hanya" sekedar mencipta gembok. "Otak saya sebetulnya sangat cemerlang. Membikin gembok super kecil saja bisa. Jika kecerdasan dan waktu saya pergunakan dengan sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, pasti saya akan menjadi alim-ulama." Umur beliau saat itu telah berkepala tiga, sebagian riwayat bahkan menyebut angka empat. Tapi itu sama sekali tak menghalanginya untuk memulai. Ia belajar dan belajar hingga menjadi pimpinan ulama Syafi'iyah Khurasan. Gurunya adalah Imam Abu Zaid al Marwazi Ia wafat dalam umur 90 tahun pada tahun 417 H di Sijistan. Pada telapak tangannya terdapat goresan-goresan bekas kerjanya sebagai pembuat gembok, dan sebelah matanya rabun akibat terlalu banyak membaca dan menulis. Nama asli dari al Qaffal ini adalah Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abdullah. Setelah terbuka hatinya untuk mendalami ilmu, al Qaffal sering melontarkan ide-ide cemerlang dalam memajukan madzhab Syafii. Pemikirannya mengalahkan ulama dizamannya karena pemikirannya sangat baru dan original.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites