Pada Kyai, Ummat Berkiblat

Kyai Abdullah Kafabihi Machrus, Pondok Pesantren HM Lirboyo Kediri: Untuk apa seorang alim hidup bila ilmunya tak sedikitpun bermanfaat bahkan untuk dirinya sendiri.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, yaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan.

Penampilan Bukan Indikator Keimanan

KH. Muslim Imam Puro: Banyak orang telah merasa berislam sempurna saat jidatnya menghitam dan bercelana cingkrang, kemudian menuduh mereka yang tidak sepertinya sebagai musyrik atau ahli bid'ah.

Beragama Berdasar Quran Hadits

Sebelum kau membid'ahkan dan mengkufurkan orang, pelajari Quran dan Haditsmu secara benar, tidak sekedar copy paste dari Sheikh Google dan Orang-orang kemarin sore yang berfikiran sempit.

Wanita Shalihah adalah yg memenuhi diri dg rasa malu

dizaman akhir nanti orang-orang akan berzina disepanjang jalan,hingga untuk lewat orang-orang harus miminta mereka minggir dari jalan. Habib Muhammad Al Haddad

Minggu, 03 Agustus 2014

Mengirim Pahala Baca Quran Untuk Mayit

oleh : KH. Ma'ruf Khazin Ulama Ahli Hadis yang sangat dikenal dalam Islam, Syaikh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani al-Syafii (bermadzhab Syafii), yang hidup antara 773-852 H atau 1372-1448 M, dengan karya terpopulernya Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari, ternyata beliau mengeluarkan fatwa sampainya pahala yang dikirim untuk mayit, baik sedekah, bacaan al-Quran dan sebagainya. Fatwa beliau tersebut dicantumkan dalam sebuah tulisan yang beliau tulis dalam sebuah pertanyaan dan beliau jawab sendiri. Fatwa ini terdapat dalam salah satu kitab beliau kumpulan 40 hadis (al-Arbain al-Mutabayinah al-Sama’), sebagaimana beberapa ulama ahli hadis memiliki karya kumpulan 40 hadis seperti Arbain Nawawiyah, dan sebagainya. أسئلة من خط الشيخ ابن حجر العسقلاني والجواب عليها جمع شيخ الإسلام القسطلاني تحقيق عبد الله محمد حسن محمد حسن اسماعيل الشافعي “Beberapa pertanyaan dari tulisan Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani dan jawabannya yang dikumpulkan oleh Syaikhul Islam al-Asqalani. Ditahqiq oleh Abdullah Muhammad, Hasan Muhammad dan Hasan Ismail al-Syafii”. Berikut Fatwa al-Hafidz Ibnu Hajar: وَأَمَّا قوْلُهُ هَلْ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ قُرِئَ عِنْدَ قَبْرِهِ أَوْ غَائِبًا عَنْ قَبْرِهِ وَهَلْ لَهُ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ بِكَامِلِهَا أَوْ ثَوَابُ مُسْتَمِعٍ فَهَاتَانِ مَسْأَلَتَانِ الثَّانِيَةُ مِنْهُمَا مُفَرَّعَةٌ عَنِ الْأًوْلَى وَقَدْ قَدَّمْتُ مَذْهَبَ الْحَنَابِلَةِ فِي ذَلِكَ وَأَنَّ الْقَارِئَ إِذَا قَصَدَ بِقِرَاءَتِهِ أَنَّهَا عَنِ الْمَيِّتِ نَفَعَتْهُ وَوَصَلَ ثَوَابُهَا لَهُ وَأَنَّ مِنْهًمْ مَنْ قَالَ لَا يُشْتَرَطُ الْقَصْدُ ابْتِدَاءً بَلْ إِذَا قَرَأَ ثُمَّ أَهْدَى ثَوَابَ ذَلِكَ لِلْمَيِّتِ وَصَلَ إِلَيْهِ وَذَكَرْتُ مَا رَجَّحَ بِهِ الْقَوْلَ الْأَوَّلَ وَعَلَى الْقَوْلَيْنِ فَلَا فَرْقَ عِنْدَ هَؤًلَاءِ بَيْنَ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ أَوْ غَائِبًا عَنْهً وَكَانَ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ يَحْصُلُ لِلْمَيِّتِ فِي الْحَالَيْنِ ... “(Pertanyaan) Apakah pahala bacaan al-Quran bisa sampai kepada mayit, baik dibaca di kubur atau jauh dari kuburnya. Dan apakah ia mendapat pahala bacaan al-Quran secara sempurna atau pahala mendengarkan? (Jawaban al-Hafidz Ibnu Hajar). Ini ada 2 masalah, yang kedua merupakan pengembangan dari yang pertama. Dan sudah saya sampaikan sebelumnya dari madzhab Hanbali bahwa jika pembaca al-Quran bertujuan membacanya untuk mayit, maka akan bermanfaat untuk mayit dan pahalanya sampai kepadanya. Sebagian ulama lainnya tidak mengharuskan hal tersebut di awal. Bahkan jika seseorang membaca al-Quran kemudian menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka sampai kepadanya. Dan saya sudah menyebut pendapat yang mengunggulkan pendapat pertama. Berdasar pada 2 pendapat tersebut, tidak ada perbedaan apakah dibaca di kubur atau jauh dari kubur, dan pahala bacaan al-Quran telah diperoleh bagi mayit dalam dua kondisi tersebut.”... وَقَدْ وَرَدَتْ عَنِ السَّلَفِ آَثَارٌ قَلِيْلَةٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ ثُمَّ اسْتَمَرَّ عَمَلُ النَّاسِ عَلَيْهِ مِنْ عَهْدِ أَئِمَّةِ الْأَمْصَارِ إِلَى زَمَانِنَا هَذَا فَأَجَبْتُ فِي ذَلِكَ مَا أَخْرَجَهُ الْخَلَّالُ فِي كِتَابِ الْجَامِعِ لَهُ قَالَ حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّوْرِي قَالَ سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ تَحْفَظُ فِي الْقِرَاءَةِ عَلَى الْقُبُوْرِ شَيْئًا قَالَ لَا قَالَ وَسَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِيْنٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ مُبَشِّرِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ الْحَلَبِي قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ إِنِّي إِذَا أَنَا مُتُّ فَضَعْنِي فِي الَّلْحْدِ وَقُلْ بِسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وُسَنَّ عَلَيَّ التّرَابَ سَنًّا وَاقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَأَوَّلِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي بِذَلِكَ ثُمَّ أَخْرَجَ الْخَلَّالُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ أَنَّ أَحْمَدَ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَاءَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَقَالَ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِي قَالَ ثِقَةٌ فَذَكَرَ لَهُ عَنْهُ هَذَا الْحَدِيْثَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدً ارْجِعْ إِلَى الرَّجُلِ وَقُلْ لَهُ يَقْرَأُ “Sungguh telah sampai atsar sedikit dari ulama Salaf dalam hal membaca al-Quran di kubur, kemudian terus diamalkan oleh orang-orang sejak masa para Imam di perkotaan hingga zaman kami. Maka saya menjawab dengan riwayat yang dikeluarkan oleh al-Khallal dalam kitab al-Jami’. Ia berkata: Abbas bin Ahmad ad-Dauri telah bercerita kepada kami. Abbas bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: “Apakah anda hafal sesuatu tentang baca al-Quran di kubur?” Ahmad menjawab: “Tidak”. Abbas berkata: “Saya bertanya kepada Yahya bin Main, lalu ia menceritakan kepada saya dari Mubasyir bin Ismail al-Halabi, ia berkata telah bercerita Abdurrahman bin Ala’ bin Lajlaj kepada saya, dari bapaknya. Bapaknya berkata: “Jika aku mati, maka letakkanlah aku di liang lahat, bacakanlah Bismillah wa ala sunnati Rasulillah. Kemudian tutuplah debu dengan perlahan dan bacakanlah di dekat kepalaku surat al-Fatihah dan awal al-Baqarah serta akhir al-Baqarah. Aku mendengar Ibnu Umar berwasiat demikian”. " Al-Khallal juga meriwayatkan dengan jalur lainnya bahwa Ahmad (bin Hanbal) menghadiri pemakaman janazah. Setelah dimakamkan, ada orang laki-laki buta membaca al-Quran di dekat kubur tersebut. Ahmad berkata kepadanya: Wahai saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah. Kemudian Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: “Wahai Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ahmad menjawab: “Ia orang terpercaya”. Ibnu Qudamah lalu menyampaikan riwayat hadis tersebut. Kemudian Imam Ahmad berkata kepada Ibnu Qudamah: “Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi agar membacanya!” وَقَالَ الْخَلَّالً أيْضًا حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْمَرْوَزِي سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَقُوْلُ إِذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَأُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ذَلِكَ لِأَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إِلَيْهِمْ وَرَوَى أَيْضًا عَنِ الزَّعْفَرَانِي قَالَ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْبٌ عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَةٌ وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ مَعْمُوْلٌ بِهِ وَلَكِنْ يَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ الشَّافِعِي قَائِلًا بِوُصُوْلِ ثَوَابِ الْقُرْآنِ لِأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ بِهِ بَرَكَةً لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ فِي اْلقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا رَطْبَتَيْنِ تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا لِصَاحِبِ الْقَبْرِ وَلِهَذَا جُعِلَ غَايَةُ التَّخْفِيْفِ جَفَافَهُمَا وَهَذَا عَلَى بَعْضِ التَّأْوِيْلَاتِ فِي ذَلِكَ وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ الْجَمَادَاتِ فَبِاْلقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ الْآدَمِي الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ وَلَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلًا صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ Al-Khallal juga berkata: “Telah bercerita Abu Bakar al-Marwazi kepada kami, saya mendengar Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Falaq, al-Nas dan al-Ikhlas. Serta jadikan bacaan itu untuk ahli kubur. Sebab akan sampai kepadanya”. Al-Khallal juga meriwayatkan dari Za’farani, ia bertanya kepada al-Syafii tentang membaca al-Quran di kubur. Syafii menjawab: “Tidak apa-apa” Ini adalah penjelasan yang asing dari al-Syafii. Za’farani adalah perawi qaul qadim yang terpercaya. Jika dalam qaul jadid tidak ada yang berbeda dengan penjelasan qaul qadim, maka qaul qadim inilah yang diamalkan. Tetapi, dari penjelasan ini al-Syafii tentunya berpendapat dengan sampainya bacaan al-Quran, karena al-Quran adalah dzikir yang paling mulia. Dzikir dapat membawa berkah untuk tempat yang dibacakan. Dan berkah tersebut dapat menyebar kepada para penghuni tempat itu. Dasarnya adalah (Nabi) meletakkan 2 pelepah kurma di kubur, berdasarkan faidah kedua pelepah tadi dapat bertasbih selama masih basah. Maka dapat berkah bagi penghuni kubur dengan tasbih pelepah tadi. Oleh karenanya kalau sudah kering maka menjadi akhir dari keringanan siksa di kubur. Ini sebagian takwil mengenai hadi diatas. Jika dengan tasbihnya benda mati saja sudah dapat berkah, apalagi dengan al-Quran yang merupakan dzikir paling mulia yang dibaca oleh manusia yang menjadi makhluk paling mulia juga, maka lebih utama untuk mendapatkan berkah bacaan al-Quran, terlebih jika yang membacanya adalah orang saleh”

Kamis, 31 Juli 2014

Kuburan Dalam Masjid

Masjid Yang Ada Makamnya Oleh : KH. Ma'ruf Khazin Para pengurus masjid Ma’ashabirin, Kota Baru Ujung, Pontianak, berkisah kepada saya saat saya bersilaturrahmi kesana di akhir Ramadlan 2014 ini, bahwa ada seorang jamaah yang enggan untuk salat lagi di masjid tersebut, karena di belakang masjid ada banyak kuburan. Jamaah ini berkata: “Saya menyesal pernah salat di masjid ini sejak dulu”. Sahkah salat di masjid tersebut sebagaimana lazimnya masjid yang di belakang atau sampingnya ada makamnya? Jawaban: Salatnya tetap sah! sebab kita hanya beribadah dan menyembah kepada Allah, bukan ke kuburan. Anggota jamaah yang menyesali pernah melakukan salat di masjid tersebut karena dipengaruhi pemahaman yang tidak benar dari hadis berikut: عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالْحَبَشَةِ ، فِيهَا تَصَاوِيرُ ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِيكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري) “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan sebuah gereja yang mereka lihat di Habasyah yang memiliki banyak gambar. Lalu mereka menyampaikan kepada Nabi Shalla Allahu alaihi wa sallama, dan Nabi bersabda: “Jika ada diantara mereka seseorang yang saleh lalu mati, maka mereka membangun tempat sujud di atas kuburnya. Mereka membuatkan gambar di dalamnya. Mereka inilah seburuk-buruk makhluk disisi Allah di hari kiamat” (HR al-Bukhari) Teks ‘Masjid’ dalam hadis ini bukanlah sebuah masjid yang kita kenal saat ini. Maksud ‘Masjid’ disini adalah tempat sujud untuk menyembah kubur, sebagaimana makna dasar dari kalimat ‘Sajada’. Berikut penjelasan beberapa ahli hadis - Al-Hafidz Ibnu Hajar وَقَالَ الْبَيْضَاوِيّ : لَمَّا كَانَتْ الْيَهُود وَالنَّصَارَى يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاء تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا قِبْلَة يَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاة نَحْوهَا وَاِتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا لَعَنَهُمْ وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْل ذَلِكَ ، فَأَمَّا مَنْ اِتَّخَذَ مَسْجِدًا فِي جِوَار صَالِح وَقَصَدَ التَّبَرُّك بِالْقُرْبِ مِنْهُ لَا التَّعْظِيم لَهُ وَلَا التَّوَجُّه نَحْوه فَلَا يَدْخُل فِي ذَلِكَ الْوَعِيد (فتح الباري لابن حجر - ج 2 / ص 148) “al-Baidlawi berkata: Ketika Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para Nabi karena mengagungkan mereka dan menjadikannya sebagai kiblat dalam salat serta menjadikannya berhala, maka Nabi melaknatnya dan melarang umat Islam melakukannya. Sedangkan orang yang menjadikan masjid di dekat orang saleh dan bertujuan mencari berkah berada di dekatnya, bukan untuk mengagungkan dan menghadap kearahnyanya, maka tidak masuk dalam ancaman tersebut” (Fath al-Bari 2/148) - Al-Hafidz al-Suyuthi قَالَ الْبَيْضَاوِي لَمَّا كَانُوْا يَسْجُدُوْنَ لِقُبُوْرِ أَنْبِيَائِهِمْ تَعْظِيْمًا لَهَا نَهَى أُمَّتَهُ عَنْ مِثْلِ فِعْلِهِمْ أَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا بِجِوَارِ صَالِحٍ أَوْ صَلَّى فِي مَقْبَرَتِهِ اِسْتِظْهَارًا بِرُوْحِهِ أَوْ وُصُوْلِ أَثَرٍ مِنْ عِبَادَتِهِ إِلَيْهِ لَا لِتَعْظِيْمِهِ فَلَا حَرَجَ أَلَا تَرَى أَنَّ قَبْرَ إِسْمَاعِيْلَ بِالْحَطِيْمِ وَذَلِكَ الْمَحَلُّ أَفْضَلُ لِلصَّلَاةِ فِيْهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الصَّلَاةِ بِالْمَقْبَرَةِ مُخْتَصٌّ بِالْمَنْبُوْشَةِ أهـ (الشمائل الشريفة – ج 1 / ص 379) “al-Baidlawi berkata: Ketika Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para Nabi karena mengagungkan, maka Nabi melarang umatnya untuk melakukannya. Sedangkan orang yang menjadikan masjid di dekat orang saleh atau salat di makamnya untuk menampakkan ruhnya atau sampainya bekas ibadahnya kepadanya, bukan untuk mengagungkan, maka tidak apa-apa. Tidakkah kamu lihat bahwa makam Ismail berada di tembok dekat ka’bah, sementara salat di tempat itu termasuk salat yang utama. Adapun larangan salat di kuburan hanya tertentu dengan kuburan yang digali” (Syamail al-Syarifah 1/379) - Al-Hafidz al-Munawi (Dalam Faidl al-Qadir 5/320) Makam Nabi Ismail letaknya berada di dekat Ka’bah diperkuat beberapa riwayat dari sahabat berikut: - Sahabat Abdullah bin Abbas عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَبْرَانِ لَيْسِ فِيْهِ غَيْرُهُمَا قَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ وَشُعَيْبٍ عَلَيْهِمَا الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ فَقَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ فِي الْحِجْرِ وَقَبْرُ شُعَيْبٍ مُقَابِلُ اْلحَجَرِ اْلأَسْوَدِ (تاريخ دمشق – ج 23 / ص 79) “Ibnu Abbas berkata: Di Masjidil Haram ada 2 makam, tidak ada yang lain. Yakni makam Ismail dan Syuaib. Makam Ismail terletak di Hijir (batu) dan makam Syuaib di depan Hajar Aswad” (al-Hafidz Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyqi 23/79) - Sahabat Abdullah bin Zubair سَعِيْدُ بْنُ حَرْبٍ الْعَبْدِي قَالَ سَمِعْتُ بْنَ الزُّبَيْرِ وَهُوَ يَقْلَعُ قَوَاعِدَ الْبَيْتِ فَأَتَى عَلَى تُرْبَةٍ صَفْرَاءَ عِنْدَ الْحَطِيْمِ فَقَالَ وَارُوْهَا فَاِنَّ هَذَا قَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ (الثقات لابن حبان - ج 4 / ص 284) “Said bin Harb berkata: Saya mendengar Ibnu Zubair saat menggali pondasi Ka’bah, ia mendatangi tanah kuning di dekat tembok, ia berkata: “Tutuplah. Sebab ini adalah makam Ismail” (Tsiqat Ibnu Hibban 4/284) Masjid Khaif di Mina juga ada makamnya dan Nabi Muhammad salat disana, dalam sebuah riwayat disebutkan: وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَسْجِدِ اْلخَيْفِ قُبِرَ سَبْعُوْنَ نَبِيّاً. رواه البزار ورجاله ثقات. (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد - ج 2 / ص 22) “Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shalla Allahu alaihi wa sallama bersabda: Di masjid Khaif dimakamkan 7 Nabi” (HR al-Bazzar, al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercaya) Hadis ini divonis dlaif oleh Syaikh Albani dengan berbagai macam cara. Sementara ulama ahli hadis yang lebih kredibel dan bergelar al-Hafidz sudah jelas menyatakan tidak dlaif. Mengapa justru yang tidak pernah mendapat gelar al-Hafidz menilai dlaif? Ulama ahli hadis yang lain al-Hafidz Ibnu al-Jauzi, yang sering dijadikan referensi oleh Albani dalam menilai palsu terhadap beberapa hadis, menyebutkan bahwa di masjid Khaif memang ada makam Nabi: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: صَلَّى جِبْرِيْلُ عَلَى آدَمَ، كَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعاً وَصَلَّى جِبْرِيْلُ بِالْمَلَائِكَةِ يَوْمَئِذٍ، وَدُفِنَ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ وَاحِدٌ مِنْ قِبَلِ الْقِبْلَةِ وَلُحِدَ لَهُ وَكُتِمَ قَبْرُهُ. (المنتظم – ج 1 / ص 35) “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Jibril salat atas janazah Adam. Ia takbir 4 kali. Jibril saat itu salat dengan para malaikat. Adam dimakamkan di masjid Khaif dari arah kiblat, dibuatkan liang lahat dan makamnya disembunyikan” (al-Muntadzam 1/35) وَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَتَاْهُ جِبْرِيْلُ بِثِيَابٍ مِنَ الْجَنَّةِ وَحَنُوْطٌ مِنْ حَنُوْطِهَا، فَكَفَّنَهُ وَحَنَّطَهُ وَحَمَلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى وَضَعَتْهُ بِبَابِ الْكَعْبَةِ وَصَلَّى عَلَيْهِ جِبْرِيْلُ ثُمَّ حَمَلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى دَفَنَتْهُ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ. (المنتظم - ج 1 / ص 36) “Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, ia berkata: Jibril membawa kain (kafan) dari surga dan kapas dari surga. Ia mengafaninya dan dibawa oleh malaikat ke pintu ka’bah. Jibril salat atas janazah Adam. Malaikat kemudian membawanya dan dimakamkan di masjid Khaif” (al-Muntadzam 1/36)

Tentang Tradisi Kupatan

Oleh : M. Khanaifi Pengertian Kupatan Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian. Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”. Asal Usul Tradisi Kupatan Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini. Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna itu adalah : a. Kata “kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. b. Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa. c. Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim. Bid’ah Dlalalah kah Tradisi Kupatan? Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya. Ada yang menganggapnya bid’ah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah. Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa. Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisah-pisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307) Artinya : “Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim) Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu. Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu disebut bid’ah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi makna bid’ah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat. Pertama, pendapat yang mendifinisikan “bid’ah” secara mutlak, yaitu segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal itu dianggap mengada-ada dan itu bid’ah. Setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Rasulullah SAW. : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296) Artinya : “Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi) Dan sabda Rasulullah SAW. : وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح الأربعين النووية ص 87) Artinya : “Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama. Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik). Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua did’ah itu dlalalah (sesat) akan tetapi ada bid’ah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at. As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya “al-ihtifal bidzikro maulidin nabi” menyatakan : قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ. Artinya : “Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”. Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut : فَكُلُّ خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ. Artinya : “Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama)”. Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan pemberian shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara. Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi : أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة Artinya : “Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”. Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 : وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22. Artinya : “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22) Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain : تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك Artinya : “Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak). Hadits riwayat Ibnu ‘Ady : تَهَادُوْا الطَّعَامَ بَيْنَكُمْ، فَإِْنَّ ذَلِكَ تَوْسِعَةٌ فِيْ أَرْزَاقِكُمْ. رواه ابن عدي Artinya : “Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu” (HR. Ibnu ‘Ady) Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah)

Selasa, 27 Mei 2014

Pengajian Shofwat Tafasir

Sabtu, 19 April 2014

Ibadah Tidak Untuk Memperburuk Penampilan

Perbanyaklah sujud (dg sholat) namun jagalah wajahmu supaya tetap tampak TAMPAN.... Abdullah bin Umar bin Khattab RA. salah seorang shahabat terkemuka membenci adanya bekas hitam di dahi seorang muslim. عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟ Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698) عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ. Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699). عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ. Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700). عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا. Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701). عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ. Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari ATSARIS SUJUUD (bekas sujud)’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapalen’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapalen’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan dalam kitab Hasiyah as-Showi, وليس المراد به ما بصنعه بعض الجهلة المرائين من العلامة في الجبهة فانه من فعل الخوارج وفي الحديث اني لابغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه اثر السجود “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan TUKANG RIYA’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” dalam sebuah hadits disebutkan sungguh saya benci seseorang yang saya lihat diantara kedua matanya terdapat bekas sujud (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). #copas

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites