Pada Kyai, Ummat Berkiblat

Kyai Abdullah Kafabihi Machrus, Pondok Pesantren HM Lirboyo Kediri: Untuk apa seorang alim hidup bila ilmunya tak sedikitpun bermanfaat bahkan untuk dirinya sendiri.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, yaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan.

Penampilan Bukan Indikator Keimanan

KH. Muslim Imam Puro: Banyak orang telah merasa berislam sempurna saat jidatnya menghitam dan bercelana cingkrang, kemudian menuduh mereka yang tidak sepertinya sebagai musyrik atau ahli bid'ah.

Beragama Berdasar Quran Hadits

Sebelum kau membid'ahkan dan mengkufurkan orang, pelajari Quran dan Haditsmu secara benar, tidak sekedar copy paste dari Sheikh Google dan Orang-orang kemarin sore yang berfikiran sempit.

Wanita Shalihah adalah yg memenuhi diri dg rasa malu

dizaman akhir nanti orang-orang akan berzina disepanjang jalan,hingga untuk lewat orang-orang harus miminta mereka minggir dari jalan. Habib Muhammad Al Haddad

Kamis, 31 Juli 2014

Kuburan Dalam Masjid

Masjid Yang Ada Makamnya Oleh : KH. Ma'ruf Khazin Para pengurus masjid Ma’ashabirin, Kota Baru Ujung, Pontianak, berkisah kepada saya saat saya bersilaturrahmi kesana di akhir Ramadlan 2014 ini, bahwa ada seorang jamaah yang enggan untuk salat lagi di masjid tersebut, karena di belakang masjid ada banyak kuburan. Jamaah ini berkata: “Saya menyesal pernah salat di masjid ini sejak dulu”. Sahkah salat di masjid tersebut sebagaimana lazimnya masjid yang di belakang atau sampingnya ada makamnya? Jawaban: Salatnya tetap sah! sebab kita hanya beribadah dan menyembah kepada Allah, bukan ke kuburan. Anggota jamaah yang menyesali pernah melakukan salat di masjid tersebut karena dipengaruhi pemahaman yang tidak benar dari hadis berikut: عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالْحَبَشَةِ ، فِيهَا تَصَاوِيرُ ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِيكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري) “Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan sebuah gereja yang mereka lihat di Habasyah yang memiliki banyak gambar. Lalu mereka menyampaikan kepada Nabi Shalla Allahu alaihi wa sallama, dan Nabi bersabda: “Jika ada diantara mereka seseorang yang saleh lalu mati, maka mereka membangun tempat sujud di atas kuburnya. Mereka membuatkan gambar di dalamnya. Mereka inilah seburuk-buruk makhluk disisi Allah di hari kiamat” (HR al-Bukhari) Teks ‘Masjid’ dalam hadis ini bukanlah sebuah masjid yang kita kenal saat ini. Maksud ‘Masjid’ disini adalah tempat sujud untuk menyembah kubur, sebagaimana makna dasar dari kalimat ‘Sajada’. Berikut penjelasan beberapa ahli hadis - Al-Hafidz Ibnu Hajar وَقَالَ الْبَيْضَاوِيّ : لَمَّا كَانَتْ الْيَهُود وَالنَّصَارَى يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاء تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا قِبْلَة يَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاة نَحْوهَا وَاِتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا لَعَنَهُمْ وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْل ذَلِكَ ، فَأَمَّا مَنْ اِتَّخَذَ مَسْجِدًا فِي جِوَار صَالِح وَقَصَدَ التَّبَرُّك بِالْقُرْبِ مِنْهُ لَا التَّعْظِيم لَهُ وَلَا التَّوَجُّه نَحْوه فَلَا يَدْخُل فِي ذَلِكَ الْوَعِيد (فتح الباري لابن حجر - ج 2 / ص 148) “al-Baidlawi berkata: Ketika Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para Nabi karena mengagungkan mereka dan menjadikannya sebagai kiblat dalam salat serta menjadikannya berhala, maka Nabi melaknatnya dan melarang umat Islam melakukannya. Sedangkan orang yang menjadikan masjid di dekat orang saleh dan bertujuan mencari berkah berada di dekatnya, bukan untuk mengagungkan dan menghadap kearahnyanya, maka tidak masuk dalam ancaman tersebut” (Fath al-Bari 2/148) - Al-Hafidz al-Suyuthi قَالَ الْبَيْضَاوِي لَمَّا كَانُوْا يَسْجُدُوْنَ لِقُبُوْرِ أَنْبِيَائِهِمْ تَعْظِيْمًا لَهَا نَهَى أُمَّتَهُ عَنْ مِثْلِ فِعْلِهِمْ أَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا بِجِوَارِ صَالِحٍ أَوْ صَلَّى فِي مَقْبَرَتِهِ اِسْتِظْهَارًا بِرُوْحِهِ أَوْ وُصُوْلِ أَثَرٍ مِنْ عِبَادَتِهِ إِلَيْهِ لَا لِتَعْظِيْمِهِ فَلَا حَرَجَ أَلَا تَرَى أَنَّ قَبْرَ إِسْمَاعِيْلَ بِالْحَطِيْمِ وَذَلِكَ الْمَحَلُّ أَفْضَلُ لِلصَّلَاةِ فِيْهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الصَّلَاةِ بِالْمَقْبَرَةِ مُخْتَصٌّ بِالْمَنْبُوْشَةِ أهـ (الشمائل الشريفة – ج 1 / ص 379) “al-Baidlawi berkata: Ketika Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para Nabi karena mengagungkan, maka Nabi melarang umatnya untuk melakukannya. Sedangkan orang yang menjadikan masjid di dekat orang saleh atau salat di makamnya untuk menampakkan ruhnya atau sampainya bekas ibadahnya kepadanya, bukan untuk mengagungkan, maka tidak apa-apa. Tidakkah kamu lihat bahwa makam Ismail berada di tembok dekat ka’bah, sementara salat di tempat itu termasuk salat yang utama. Adapun larangan salat di kuburan hanya tertentu dengan kuburan yang digali” (Syamail al-Syarifah 1/379) - Al-Hafidz al-Munawi (Dalam Faidl al-Qadir 5/320) Makam Nabi Ismail letaknya berada di dekat Ka’bah diperkuat beberapa riwayat dari sahabat berikut: - Sahabat Abdullah bin Abbas عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَبْرَانِ لَيْسِ فِيْهِ غَيْرُهُمَا قَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ وَشُعَيْبٍ عَلَيْهِمَا الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ فَقَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ فِي الْحِجْرِ وَقَبْرُ شُعَيْبٍ مُقَابِلُ اْلحَجَرِ اْلأَسْوَدِ (تاريخ دمشق – ج 23 / ص 79) “Ibnu Abbas berkata: Di Masjidil Haram ada 2 makam, tidak ada yang lain. Yakni makam Ismail dan Syuaib. Makam Ismail terletak di Hijir (batu) dan makam Syuaib di depan Hajar Aswad” (al-Hafidz Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyqi 23/79) - Sahabat Abdullah bin Zubair سَعِيْدُ بْنُ حَرْبٍ الْعَبْدِي قَالَ سَمِعْتُ بْنَ الزُّبَيْرِ وَهُوَ يَقْلَعُ قَوَاعِدَ الْبَيْتِ فَأَتَى عَلَى تُرْبَةٍ صَفْرَاءَ عِنْدَ الْحَطِيْمِ فَقَالَ وَارُوْهَا فَاِنَّ هَذَا قَبْرُ إِسْمَاعِيْلَ (الثقات لابن حبان - ج 4 / ص 284) “Said bin Harb berkata: Saya mendengar Ibnu Zubair saat menggali pondasi Ka’bah, ia mendatangi tanah kuning di dekat tembok, ia berkata: “Tutuplah. Sebab ini adalah makam Ismail” (Tsiqat Ibnu Hibban 4/284) Masjid Khaif di Mina juga ada makamnya dan Nabi Muhammad salat disana, dalam sebuah riwayat disebutkan: وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَسْجِدِ اْلخَيْفِ قُبِرَ سَبْعُوْنَ نَبِيّاً. رواه البزار ورجاله ثقات. (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد - ج 2 / ص 22) “Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shalla Allahu alaihi wa sallama bersabda: Di masjid Khaif dimakamkan 7 Nabi” (HR al-Bazzar, al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercaya) Hadis ini divonis dlaif oleh Syaikh Albani dengan berbagai macam cara. Sementara ulama ahli hadis yang lebih kredibel dan bergelar al-Hafidz sudah jelas menyatakan tidak dlaif. Mengapa justru yang tidak pernah mendapat gelar al-Hafidz menilai dlaif? Ulama ahli hadis yang lain al-Hafidz Ibnu al-Jauzi, yang sering dijadikan referensi oleh Albani dalam menilai palsu terhadap beberapa hadis, menyebutkan bahwa di masjid Khaif memang ada makam Nabi: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: صَلَّى جِبْرِيْلُ عَلَى آدَمَ، كَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعاً وَصَلَّى جِبْرِيْلُ بِالْمَلَائِكَةِ يَوْمَئِذٍ، وَدُفِنَ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ وَاحِدٌ مِنْ قِبَلِ الْقِبْلَةِ وَلُحِدَ لَهُ وَكُتِمَ قَبْرُهُ. (المنتظم – ج 1 / ص 35) “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Jibril salat atas janazah Adam. Ia takbir 4 kali. Jibril saat itu salat dengan para malaikat. Adam dimakamkan di masjid Khaif dari arah kiblat, dibuatkan liang lahat dan makamnya disembunyikan” (al-Muntadzam 1/35) وَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَتَاْهُ جِبْرِيْلُ بِثِيَابٍ مِنَ الْجَنَّةِ وَحَنُوْطٌ مِنْ حَنُوْطِهَا، فَكَفَّنَهُ وَحَنَّطَهُ وَحَمَلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى وَضَعَتْهُ بِبَابِ الْكَعْبَةِ وَصَلَّى عَلَيْهِ جِبْرِيْلُ ثُمَّ حَمَلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى دَفَنَتْهُ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ. (المنتظم - ج 1 / ص 36) “Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, ia berkata: Jibril membawa kain (kafan) dari surga dan kapas dari surga. Ia mengafaninya dan dibawa oleh malaikat ke pintu ka’bah. Jibril salat atas janazah Adam. Malaikat kemudian membawanya dan dimakamkan di masjid Khaif” (al-Muntadzam 1/36)

Tentang Tradisi Kupatan

Oleh : M. Khanaifi Pengertian Kupatan Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian. Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”. Asal Usul Tradisi Kupatan Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini. Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna itu adalah : a. Kata “kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman. b. Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa. c. Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim. Bid’ah Dlalalah kah Tradisi Kupatan? Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya. Ada yang menganggapnya bid’ah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah. Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa. Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisah-pisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307) Artinya : “Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim) Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu. Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu disebut bid’ah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi makna bid’ah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat. Pertama, pendapat yang mendifinisikan “bid’ah” secara mutlak, yaitu segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal itu dianggap mengada-ada dan itu bid’ah. Setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Rasulullah SAW. : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296) Artinya : “Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi) Dan sabda Rasulullah SAW. : وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح الأربعين النووية ص 87) Artinya : “Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama. Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik). Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua did’ah itu dlalalah (sesat) akan tetapi ada bid’ah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at. As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya “al-ihtifal bidzikro maulidin nabi” menyatakan : قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ. Artinya : “Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”. Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut : فَكُلُّ خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ. Artinya : “Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama)”. Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan pemberian shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara. Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi : أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة Artinya : “Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”. Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 : وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22. Artinya : “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22) Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain : تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك Artinya : “Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak). Hadits riwayat Ibnu ‘Ady : تَهَادُوْا الطَّعَامَ بَيْنَكُمْ، فَإِْنَّ ذَلِكَ تَوْسِعَةٌ فِيْ أَرْزَاقِكُمْ. رواه ابن عدي Artinya : “Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu” (HR. Ibnu ‘Ady) Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites