KH. M. Ja’far Banjar bertanya kepada Assyeikh Muhammad ’Ali Bin Husain Al- Malikiy Al- Makkiy, denga kesimpulan pertanyaan sebagai berikut :
Ada ahli waris seorang mayyit, mereka telah sama berumur dewasa. Berturut-turut tiga, lima atau tujuh malam mereka mengundang dan menjamu jamaah untuk baca Al-Qura’an, tahlil dan do’a. Dengan maksud pahalanya dihadiahkan kepada ruh si mayyit tersebut. Adakah amal-amal tersebut bermanfaat bagi si mayyit ? ataukah termasuk bid’ah tercela ?
Jika bermanfaat itulah memang yang kami maksud, sesuai dengan isi kitab Irsyaadat Assaniyah, dan sesusai pula dengan isi Fatawi Kubro oleh Assyeikh Ibnu Hajar. Juga didalam Sohihul Bukhoriy terdapat keterangan :
أي ألإسلام خير ؟ فقال " تطعم الطعام و تقرىء السلام على من عرفت و من لا تعرف "
Kelakuan Islam mana yang terbaik ? maka Nabipun menjawab : engkau berikan makanan dan engkau ucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak kau kenal.
Sedang kitab fathul Bari menjelaskan, bahwa perkataan “ ith’am “ (memberi makanan) yang di muat dalam hadits di atas adalah mencakup pengertian “ menjamu tamu dan lainnya “.
Menjawab pertanyaan tersebut setelah membaca basmallah, hamdalah, shalawat dan salam kepada Rasulullah s.a.w., Assyeikh Muhammad ’Ali Bin Husain Al- Malikiy Al- Makkiy meneragkan uraian yang keringkasannya sebagai berikut :
Dari nash-nash hukum yang tercantum didalam Madzhab Empat mengenai masalah diatas, dapat ditarik kesimpulan :
1. Kesimpulan Pertama
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti di atas tanpa diperselisihkan hukumnya adalah “ bid’ah madzmumah” (bid’ah tercela).
2. Kesimpulan Kedua
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti di atas, hukumnya :
- Ada kalanya bid’ah muharromah (bid’ah yang diharamkan).
- Adakalanya bid’ah makruhah (bid’ah yang dimakruhkan ) dan.
- Adakalanya bid’ah mandubah (bid’ah yang disunnahkan).
3. Kesimpula n Ketiga
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas, jika tiada dalil lain yang memperbolehkan, maka hukumnya tetap “ bid’ah muharromah “ atau paling ringan “ bid’ah makruhah ”.
Jika ada dalil lain yang memperbolehkannya maka hukumnya tafsil (terperinci), yaitu :
- adakalanya tetap bid’ah muharromah atau bid’ah makruhah.
- Adakalanya sunnah, sebagaimana akan dijelaskan dibawah.
PENJELASAN KESIMPULAN PERTAMA
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas dihukumi bid’ah madzmumah, alasanya adalah :
1. Hadits Nabi s.a.w. :
ما أخرجه لإ مام أحمد في مسنده وأبوداود و الترمذى وابن عبدالله بن جعفر ثال : لما قدم خبر موت أبى , قال صلى الله عليه وسلم لأهل بيته " اصنعوا لآل جعفر طعا ما وابعثوا به إليهم . فقد جاء هم ما يشغلعم عته (كما فى الجامع الصغير)
Hadits yang dikeluarkan oleh Imam ahmad didalam Musnadnya dan oleh Abu Dawud, Turmudziy, Ibnu majjah dan Al-Haakim kesemuanya dari Abdullah Bin Ja’far. Abdullah berkata :” ketika sampai berita wafatnya ayahku, bersabdalah Rosulullah s.a.w. kepada keluarganya : “ buatkanlah keluarga ja’far makanan dan kirimkan kepada mereka. Sungguh mereka telah kedatangan keadaan yang membuat mereka lupa akan makanan “ (sebagaimana dicantumkan didaalm Al-Jamius Shoghir).
Berdasarkan hadits ini , maka yang tepat dan sesuai dengan sunnah rasulullah s.a.w. adalah:
• Keluarga mayyit yang seharusnya dibuatkan /diberi makanan oleh para tetangga dan kerabat.
• Bukan sebaliknya, artinya ; bukan hadirin yang harus diberi jamuan oleh keluarga mayyit.
2. Jamuan kepada hadirin oleh keluarga mayyit pada hari kewafatan, adalah tradisi jahiliyyah. Tidak patut kiranya dicontoh oleh kaum Muslimin. Memang orang-orang kafir sudah biasa mengadakan walimah diwaktu berduka cita. Padahal yang semestinya.
PENJELASAN KESIMPULAN KEDUA
Jamuan oleh keluarga mayyit tersebut diatas :
1. Adakalanya dihukumi Bid’ah Muharromah, yaitu bilamana jamuan tersebut sengaja diadakan untuk niahah (untuk membangkitkan tangis dan kesedihan) jamuan seperti ini walaupun diwasiatkan oleh mayyit, tidak boleh dilaksanakan. Adapun adlilnya :
ماَرَوَاهُ أحمد وَبنُ ماَجَه بإسنَادٍ صَحيح عَن حريربن عبدالله رضى الله عنهما , قال : كنّا نعدّ الإجتماع إلى أهل الميّتِ وصنعَهمُ الطعامَ من النياحَةِ .
“ Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengansanda yang Shohih dari sahabat Jarir bin Abdillah r.a. beliau berkata : “ kita menghitung (memandang) pertemuan hadirin dirumah keluarga mayyit dan penjamuan makan oleh keluarga mayyit itu termasuk niahah “.
Catatan :
- Niahah artinya menampakkan duka cita yang keterlaluan, seperti menangis keras dengan mengucapkan bermacam kata penyesalan, memukul-mukul kepala, pipi atau dada, berpakaian compang camping, membanting piring dsb. Hukum Niahah adalah haram.
2. Adakalanya dihukumi Bd’ah Makruhah, bila ada wasiat mayyit, untuk itu boleh dilaksanakan. Yaitu kalau tujuan jamuan hanyalah untuk memberi makan orang-orang yang berta’ziyah, bukan untuk keperluan niahah. Karena perkumpulannya keluarga mayyit di susatu tempat untuk keperluan menerima ta’ziyah itu hukumnya makruh. Demikian madzhab para Ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah menurut qoul yang shohih.
3. Adakalanya dihukumi Bid’ah Mandubah, jika dilaksanakan mendapat pahala. Yaitu sekiranya jamuan tersebut dimaksudkan untuk manghindari omelan orang-orang bodoh yang biasa mencela kehormatan keluarga mayyit, kalau mereka tidak diberi jamuan, hukum ini dikiyaskan dengan hukum mencubit hidung yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. kepada orang yang terpaksa memutus dan meninggalkan solatnya waktu ia bermakmum solat jama’ah karena kedatangan hadats. Para Ulama’ memberikan alasan bahwa perintah Nabi s.a.w. tersebut. Adalah menjaga kehormatan orang yang terkena hadats tadi. Karena meninggalkan sholat tanpa cara ini akan menjadi omelan orang, dengan kata lain untuk menutup timbulnya suudzon ( buruk sangka ).
PENJELASAN KESIMPULAN KETIGA
Jamuan oleh keluarga mayyit seperti diatas tetap dihukumi Bid’ah Makruhah, jika disamping Hadits Abdullah bin Ja’far dan atsar Jarir bin Abdillah tadi ternyata tidak ada Hadits lain yang memperbolehkan keluarga mayyit mengadakan jamuan dirumahnya untuk para hadirin yang berta’ziyah atau yang di undang.
Bila ternyata ada Hadits lain yang memperbolehkannya, maka hukumnya adalah tafsil (harus diperinci). Sebagaimana nati akan dijelaskan. Mengenai jamuan makan oleh keluarga mayyit ini ada Hadits yang melandasinya, yaitu hadits yang diriwayatkann oleh Abu Dawud didalam Sunan_nya dan oleh Al-Bayhaqiy dalam kitab Dalailun Nubuwwah, yang lafalnya menurut baihaqiy :
عَن عاَصِم بن أبيه عن رَجُلٍ مِنَ الأنصَار , قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلّم يُصى الحَافرُ يَقُولُ : أوسع مِن قِبَلِ رجليه , أوسع مِن قبل رَأسهِ فلمّا رجع استقبله داعى امرأتهِ أى زوجة المتوفىّ , فأجاب ونحنُ معه , فجئ بالطعام فوضع يدهُ ثمّ وضعَ القَومُ فأكلُوا و نضرنا رسولَ الله يَلُوكُ اللقمة فى فيه , أَجِدُ لحمَ شاةٍ أُخِذت بغير إذن أهلها, إنّى أرسَلتُ , إلى البقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشترى لى شاةً فلم تُوجدُ . فأرسلت إلى جار لى قداشترى شاةً أن يُرسل بها إلىّ بثمنها قلم يوجد , فأرسلتُ إلى امرأتهِ فأرسلت إلىّ بها , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : أطعِمِى هذااالطعام الأسرى
“ Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya dari seorang Sahabat Ansar, berkatalah Sahabat itu : Kami telah keluar menyertai Rasululla s.a.w. mengiring jenazah, maka kulihat Rasulullah berwasiat kepada penggali kuburan. Kata beliau : “ perluaslah kedua arah kakinya ! perluaslah arah kepalanya ! “ setelah beliau pulang ditemuilah oleh pengundang dari pihak istrinya, yakni isteri mayyit. Maka beliaupun menerima undangan itu dan kami menyertainya. Lalu dihidangkanlah makanan, maka beliau mengulurkan tanganya, kemudian hadirin pun mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan. Kemudian bel;iau bersabda : “ Kujumpai daging kambing yang telah diambil tanpa seizin yang empunya “. Maka segeralah isteri mayyit itu berkata : Ya Rasulullah ! sesungguhnya telah saya suruh orang ke Baqi’, yaitu tempat dimana dijual kambing, agar membelikan saya seekor kambing. Tetapi tak didapatkan. Lalu saya suruhan keistrinya, kemudian dikirimkannya kambing itu kepada saya. Maka Rasulullah s.a.w. pun bersabda : “ berikanlah makanan ini kepada para tawanan ” .
Di dalam Hadits ini terdapat beberapa hal, yaitu :
- kambing tersebut sudah terlanjur disembelih dan dijadikan hidangan, sedangkan yang empunya / yang berhak menjual / yang harus dimintai halalnya belum didapat / belum datang.
- Hidangan menghadapi rusak kalau tidak segera dimakan, walaupun makanan itu belum halal.
- Itulah sebabnya maka Rasulullah s.a.w. menyuruh memberikannya kepada tawanan (yaitu orang – orang kafir ) agar tidak mubadzir.
- Istri mayyit tersebut harus mengganti harga kambing tadi, berhubung telah menyembelihnya.
- Uang pengganti harga kambing inilah yang merupakan sodaqoh untuk ruh jenazah tadi.
- Dan yang paling penting, adalah kesudian rasulullah s.a.w. hadir dalam undangan jamuan makan/selamatan oleh keluarga mayyit tersebut, yang menjadi landasan dasar bagi hukum bolehnya mengadakan jamuan seperti itu.
Yang perlu di perhatikan :
1. Hadits Abdullah bin Ja’far dan Atsar Jarir adanya jamua makan oleh keluarga mayyit kepada hadirin, sebagaimana diuraikan diatas.
2. Hadits yang diriwayatkan dari Ashin bin Kulaib diats, bermakna memperbolehkannya.
3. Jadi Hadits - hadits ini sepintas lalu nampaknya kontradiktif ( bertentangan satu sama lain ).
Benarkah Hadits – hadits itu kontradiktif ?
Sama sekali tidak, karena masing-masing pada hakekatnya mempunyai arah / sasaran tertentu :
1. Hadits Abdullah bin Ja’far dan Atsar Jarir bin Abdillah itu, hendaknya diarahkan kepada pengertian bahwa dihukumi bid’ah muharromah atau bid’ah makruhah, kalau “ jamuan oleh keluarga mayit tersebut di ambil dari harta peninggalan si mayyit “.
- sedang si mayyit masih mempunyai tanggungan hutang,
- atau dikalangan ahli waris ada anak kecil yang belum sah tindakannya,
- atau dikalangan ahli waris sedang dalam bepergian,
- atau ada yang belum diketahui dengan pasti rela tidaknya jamuan diambil dari harta peninggalan mayyit itu.
2. Sedang Hadits Ashim bin Kulaib, hendaknya diarahkan kepada pengertian bahwa jamuan oleh keluarga mayyit tersebut dihukumi sunnah, kalau :
- harta diambil dari milik sendiri dari orang tertentu dikalangan ahli waris, bukan dari harta peningggalan yang belum dibagi,
- atau dari harta peninggalan tersebut, kalau ahli warisnya hanya terdiri dari seorang yang tertentu tadi dan dialah yang memberikan untuk jamuan tersebut.
- Atau dari sepertiga harta peninggalan , kalau oleh simayyit telah diwasiatkan untuk penyelenggaraan jamuan tersebut.
Ketetapan ini diambil berdasarkan Qa’idah Ushulul Fiqh, bahwa mempergunakan dua dalil dengan mengumpulkan kedua kesimpulannya dan mengelakkan sifat kontradiksinya (pertentangannnya) adalah lebih diutamakan daripada membuang salah satu dalil tersebut. Hanya karena tampaknya kontradiktif, jadi perhatikannlah secara seksama. Wallohu a’laam bisshowab.
TAMBAHAN
Pada akhir fatwanya, Seikh Muhammad ‘Ali Al-Malikiy, menambahkan :
Ketahuilah, bahwa penduduk jawa pada umumnya jika seorang dari mereka wafat, datanglah kerumah keluarga mayyit itu orang banyak dengan membawa sesuatu, seprti beras yang msih mentah. Setelah mereka berikan beras itu kepada keluarga mayyit, lalu mereka masakkan dan mereka berikan dalam keadaan matang kepada keluarga mayyit serta pada hadirin, dengan maksud melaksanakan Hadits yang artinya :
“ Buatkan Keluarga Ja’far makanan “
Dan karena mengharapkan pahala amal yang ditanyakan hukumnya diatas, bhakan mengharapkan pahala menjamu yang manfaatnya diperuntukkan ruh mayyit.
Karena Al “allamah As-Syarqawiy didalam sarah Tajridil Bukhoriy yang telah menerangkan sebagai berikut :
“ Yang Shohih, bahwa pertanyaan, yakni pertanyaan qubur itu hanyalah sekali, tetapi katanya (waqila) : orang mu’min didalam kuburnya diuji selama tujuh subuh, sedang orang-orang kafir di uji selama empat puluh subuh. Sehubungan dengan itu, maka mereka suka sekali menyedekahkan makanan tersebut selama tujuh hari dari waktu dikuburkannya mayyit “.
Wallohu a’laam bisshowab.