Minggu, 03 Juli 2011

Toleransi Beragama Dg Piagam Madinah Sebagai Tolok Ukur

Sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Penjelasan materi tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita.

Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Konsep Toleransi dalam Islam

Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl).

Beberapa prinsip ajaran Islam ini merupakan sesuatu yang qath'iy, ia tidak bisa dianulir atau dibantah dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyât, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi rentang waktu dan dimensi tempat (shâlihatun likulli zamânin wa makânin). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran ini bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.

Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah mengajak kepada prinsip-prinsp ajaran Islam ini. Rasulullah Saw bersabda:

قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (رواه البخاري، الترمذي، أحمد، دارمي)

“Sampaikanlah apa yang datang dariku walau pun hanya satu ayat”. (HR. Bhukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi)

Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256)

“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)

Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam.

Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6)

“Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku”

Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.

Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)

“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).

Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam?

Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99:

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ.

"Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.

Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29)

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”

Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhâj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghâyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washîlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islâm murûnatun fi l-wasâ`il wa tsabâtun fi l-ghâyât (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri).

Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)

Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan.

Toleransi Merujuk Piagam Madinah

Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama.

Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya.

Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw".

Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat.

Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama.

Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya

Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”.

Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka".
Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul.
Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan

Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.''

Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi.

Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam.

Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama.

Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites