Pada Kyai, Ummat Berkiblat

Kyai Abdullah Kafabihi Machrus, Pondok Pesantren HM Lirboyo Kediri: Untuk apa seorang alim hidup bila ilmunya tak sedikitpun bermanfaat bahkan untuk dirinya sendiri.

Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin

Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, yaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan.

Penampilan Bukan Indikator Keimanan

KH. Muslim Imam Puro: Banyak orang telah merasa berislam sempurna saat jidatnya menghitam dan bercelana cingkrang, kemudian menuduh mereka yang tidak sepertinya sebagai musyrik atau ahli bid'ah.

Beragama Berdasar Quran Hadits

Sebelum kau membid'ahkan dan mengkufurkan orang, pelajari Quran dan Haditsmu secara benar, tidak sekedar copy paste dari Sheikh Google dan Orang-orang kemarin sore yang berfikiran sempit.

Wanita Shalihah adalah yg memenuhi diri dg rasa malu

dizaman akhir nanti orang-orang akan berzina disepanjang jalan,hingga untuk lewat orang-orang harus miminta mereka minggir dari jalan. Habib Muhammad Al Haddad

Jumat, 15 Juli 2011

Syekh Yusuf – Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang



dikutip dari alhabaib Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Terlibat pergerakan naasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.

Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.

Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Menekuni jalan dakwah

Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).
Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.

Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.

Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.

Rabu, 13 Juli 2011

Dibalik Pemujaan Salafi Wahabi


Islam sama sekali tak bisa dilepaskan dari sosok Baginda Nabi SAW. Beliau adalah insan yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia dengan agama yang sempurna ini. Tiada sosok yang patut diagungkan di muka bumi melebihi Baginda Nabi SAW. Segenap keindahan fisik dan budi pekerti terdapat dalam figur Baginda Rasulullah SAW. Mencintai Baginda Nabi SAW adalah bagian dari mencintai Allah SWT. Beliau bersaba:

مَنْ أَحَبَّنِي فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ وَمَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطاَعَ اللهَ

“Barangsiapa mencintaiku, maka ia benar-benar telah mencintai Allah SWT. Barangsiapa menaatiku, maka ia benar-benar telah taat kepada Allah SWT.”

Cinta haruslah disertai dengan penghormatan dan pengagungan. Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan manusia agar mengagungkan sosok Baginda Nabi SAW. Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan mengagungkan Rasul-Nya.”

Cinta para sahabat kepada Baginda Rasul SAW adalah cinta yang patut diteladani. Dalam hadits-hadits disebutkan bagaimana para sahabat saling berebut bekas air wudhu Baginda Nabi SAW. Meski hanya tetesan air, namun air itu telah menyentuh jasad makhluk yang paling dekat dengan Sang Pencipta. Karena itulah mereka begitu memuliakannya dan mengharap berkah yang terpendam di dalamnya. Ketika Baginda Nabi SAW mencukur rambut, para sahabat senantiasa mengerumuni beliau. Mereka ingin mendapatkan potongan rambut beliau meski sehelai. Dengan rambut itu mereka hendak mengenang dan mengharap berkah Nabi SAW. Demikianlah rasa cinta para sahabat kepada Baginda Nabi SAW.

Primitif

Apa yang berlaku saat ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta. Di sana orang-orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sama sekali tidak menghormati beliau SAW. Mereka bahkan melecehkan beliau dan melakukan perbuatan yang teramat tidak pantas kepada sosok sebesar beliau. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau selama 28 tahun, yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh keterlaluan!

Fakta ini belakangan terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi SAW. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang berwenang.

Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata. Si pewawancara terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi SAW adalah WC umum. Sami Angawi merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia kemudian mengungkapkan harapannya, “Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah SWT takkan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasul SAW dan tempat turunnya wahyu selama 13 tahun.”

Ulah jahil Wahabi itu tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi SAW adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tak pandai menghargai nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002 lalu, mereka meluluhkan masjid cucu Nabi, Imam Ali Uraidhi menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau, dan Tahun 2010 wahabi menghancurkan Masjid Kucing digunakan sebagai jalan raya.

Selama ini kelompok Wahabi berdalih bahwa penghancuran tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka sekadar mengantisipasi agar tempat-tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan. Akan tetapi dalih mereka agaknya kurang masuk akal, sebab nyatanya mereka berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar dan mentereng untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Syekh al-Utsaimin. Bandingkan perlakuan ini dengan perlakuan mereka kepada Baginda Nabi SAW. Mereka merobohkan rumah Baginda Nabi SAW dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum, kemudian membangun gedung megah untuk Al-Utsaimin. Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi mereka? Baginda Rasulullah SAW ataukah Syekh al-Utsaimin?

Bangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalamnya terdapat benda-benda peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin.” Sungguh ironis, mengingat mereka begitu getol memberangus semua peninggalan Baginda Nabi SAW. Ulama mereka bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi SAW. Beruntung, sebagian benda peninggalan beliau telah dipindahkan ke Turki.

Haul Wahabi

Wahabi melarang keras pengkultusan terhadap diri Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sendiri melakukan pengkultusan terhadap diri Syekh al-Utsaimin. Mereka membid’ahkan peringatan haul seorang ulama atau wali, akan tetapi belakangan mereka juga menghelat semacam haul untuk Syekh al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim.” Betapa ganjilnya sikap kelompok Wahabi ini.

‘Haul’ al-Utsaimin mereka adakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin. Rangkaian acara haul itu dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Quran, dilanjutkan sambutan-sambutan berisi pujian terhadap almarhum. Sambutan pertama disampaikan Ketua yayasan ar-Rusyd sekaligus Presiden Asosiasi Penerbit Saudi, yang memuji peran Syekh Utsaimin dalam penyebaran agama Islam. Sambutan selanjutnya disampaikan Abdullah, putra Utsaimin, kemudian Atase Kebudayaan Saudi Muhammad bin Abdul Aziz Al-Aqil. Yang disebutkan belakangan ini banyak mengulas manakib Syekh al-Utsaimin dengan menjelaskan tahun lahir dan wafatnya. “Perayaan ini adalah sedikit yang bisa kami persembahkan untuk mendiang Syekh Utsaimin,” ujarnya.

Acara haul ditutup dengan saling tukar tanda kehormatan antara Yayasan ar-Rusyd, Yayasan Utsaimin, Atase Kebudayaan dan Deputi Menteri Kebudayaan dan Informasi. Begitu pentingnya perayaan untuk Utsaimin ini sampai-sampai seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:

وَاللهِ لَوْ وَضَعَ اْلأَناَمُ مَحَافِلاَ # مَاوَفَتِ الشَّيْخَ اْلوَقُورَحَقَّهُ

“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”

Syair itu menunjukkan pengkultusan orang-orang Wahabi terhadap Syekh Utsaimin. Pengagungan yang kebablasan juga mereka berikan kepada pendiri aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Seorang Mahasiswa Universitas Riyadh pernah memprotes dosennya, Dr. Abdul Adhim al-Syanawi, karena memuji Rasulullah SAW. Sang dosen menanyakan apa penyebab si mahasiswa membenci Nabi SAW? Mahasiswa itu menjawab bahwa yang memulai perang kebencian adalah Baginda Nabi sendiri (sambil menyitir hadits seputar fitnah yg muncul dari Najed, tempat kelahiran Muhamad bin Abdul Wahab). “Kalau begitu, siapa yang kamu cintai?” tanya sang dosen. Lalu si mahasiswa menjawab bahwa yang dicintainya adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Selanjutnya sang dosen menanyakan alasan kecintaan mahasiswanya itu. “Karena Syekh Muhammad Abdul Wahab menghidupkan sunnah dan menghancurkan bid’ah,” Jawab mahasiswa itu. (kisah ini dicatat Ibrahim Abd al-Wahid al-Sayyid,dalam kitabnya, Kasf al-Litsam ‘an Fikr al-Li’am hlm.3-4.)

Sungguh benar Baginda Nabi SAW. yang dalam salah satu hadits beliau mengisyaratkan bahwa akan ada fitnah (Wahabi) yang bakal muncul dari Najed. Isyarat itu menjadi nyata semenjak munculnya Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed yang dengan bantuan kolonial Inggris mencabik-cabik syariat Islam.

Syekh Utsaimin adalah salah satu penerus Muhammad bin Abdul Wahab. Ia juga gencar menyebarkan fitnah lewat tulisan-tulisannya. Salah satu fitnah itu seperti tertera di dalam karyanya, al-Manahi al-Lafdziyyah hal 161. Di situ ia menulis:

وَلاَ أَعْلَمُ إِلىَ سَاعَتيِ هَذِهِ اَنَّهُ جَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اْلخَلْقِ مُطْلَقاً فيِ كُلِّ شَئٍْ

“Dan saya tidak mengetahui sampai detik ini bahwa Muhammad adalah makhluk Allah yang lebih utama dari segala makhluk apa pun secara mutlak.” Agaknya kalimat inilah yang membuat penganut Wahabi lebih mengagungkan Utsaimin dari pada Baginda Rasulullah SAW….!

Setelah membaca tulisan ini, anda bisa membuat kesimpulan sendiri, siapakah yang bathil dalam beraqidah sebenarnya?????

Hizbut Tahrir II


Oleh: KH As’ad Said Ali
Boleh dikatakan, awal mula masuknya gagasan Hizbut Tahrir dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.



Tujuannya semata untuk membantu pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam mulai dikaji serius.


Para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.


Satu dekade kemudian, tepatnya pada dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat umum dengan cara door to door. Tahap pertama, penyampaian dakwah pada orang tua mahasiswa. Kedua, seiring dengan waktu lulusnya para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade 2000-an.


Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi. Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat, sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah (Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad Al-Khaththath (Indonesia).


Konferensi tersebut juga menjadi penanda lahirnya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, dan sejak itu mulai memproklamirkan diri sebagai organisasi politik yang berideologikan Islam. Dalam konteks HT, pembentukan partai berarti dicapainya tahap kedua perjuangan yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafaul ma’ al ummah).



Tujuan Politik


Bertitik tolak dari pandangan Taqiyuddin An-Nabhani bahwa dunia Islam harus terbebas dari segala bentuk penjajahan, maka mendirikan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah keharusan. Khilafah yang dimaksud adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat.


Dengan tujuan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah, maka Hizbut Tahrir telah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. Dengan atas dasar itulah maka seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pemikiran dan dalam perjuangan politik.


Adapun alasan mengapa perlu mendirikan khilafah Islamiyah karena semua negeri kaum muslimin dewasa ini, tanpa kecuali, adalah termasuk kategori Darul Kufur, sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus Hizbut Tahrir, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim.


Konteks Ideologi dan Perkembangan di Timur Tengah


Sesungguhnya, dasar utama gagasan HT adalah seruan untuk menerapkan Islam secara komprehensif. Kemunduran Islam, kata Taqiyuddin (pendiri gerakan HT), disebabkan oleh ditinggalkannya penerapan Islam secara kaffah. “Kemunduran mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran agama, mengabaikan qiyadah fikriyah” tandas Taqiyuddin pada tahun 1953. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali keagungan Islam, solusi tunggalnya adalah menerapkan seluruh sistem Islam secara sempurna, tanpa ada kompromi dengan sistem-sistem lainnya.


Usaha revivalisme semacam ini, dalam beberapa segi memang bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan gerakan Ikhwanul Muslimun (IM). Kesesuaian ini dapat dilacak dari latar belakang Taqiyuddin di mana pada waktu belajar di Al Azhar, Mesir, Taqiyuddin pernah bergabung dengan jamaah IM. Seperti akan kita lihat nanti, pada periode awal perkembangannya ternyata gerakan HT didukung oleh para aktivis IM di Palestina.


Namun, IM dan HT mempunyai titik perseberangan yang krusial. Daulah Islamiah yang digagas IM sama sekali tidak memasukkan prinsip kekhilafahan. Bahkan, Daulah Islamiah dimasukkan dalam kerangka nation-state. Pengabaian prinsip ini ditolak Taqiyuddin. Baginya, semangat kembali ke Islam secara total tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya penerapan sistem politik kekhalifahan. Hanya dengan penerapan sistem ini, nilai-nilai Islam dalam diwujudkan dalam masyarakat muslim.


Yang dimaksud sistem kekhalifahan adalah suatu bentuk tunggal negara Islam yang meliputi seluruh wilayah penduduk Muslim (umat) tanpa ada batas nation-state –konsep yang juga ditolakTaqiyuddin karena dianggap sangat lemah. Konsep yang diacu adalah model kekhalifahan masa Khulafaur Rasyidin, di mana seorang khalifah diangkat melalui mekanisme baiat. Bagi Taqiyuddin, konsep kekhalifahanlah yang mampu dan terbukti mendorong kejayaan Islam. Oleh karena itu, perjuangan mewujudkan kembali kekhalifahan adalah neccessary condition bagi terwujudnya masyarakat muslim.


Konsep ini ditawarkan sebagai jawaban dari kemunduran Islam menghadapi penetrasi Barat. Sepintas, tawaran ini terkesan kembali ke masa lalu. Namun, para aktivis HT mampu mengeksplorasi gagasan ini sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme ataupun bentuk dominasi Barat lainnya. Tawaran ini menjadi kontekstual karena disebarkan di tengah masyarakat muslim yang merasa kecewa di tengah hegemoni kekuasaan Barat. Gagasan ini makin memperoleh tempat tatkala dihadapkan pada kegagalan eksperimen demokrasi ataupun bentuk negara modern lainnya di mana mayoritas warga negaranya adalah muslim.


Untuk itu, HT mengusung ideologi politik kekhalifahan. Dalam pandangannya, kekhalifahan adalah prototipe sistem pemerintahan Islam yang terbukti operasional selama berabad-abad. Untuk menguatkan gagasan ini, HT mengeksplorasi glorifikasi atau keagungan sejarah Islam masa kekhalifahan yang dipandang bermula dari Nabi Muhammad dan berakhir dengan keruntuhan Khilafah Usmani di Turki pada tahun 1924.


Gagasan-gagasan HT, sejak awal memang kurang diterima secara luas. Kelompok terbesar yang menentangnya adalah para aktivis pembaharuan Islam yang mengadopsi gagasan-gagasan modern, termasuk mereka yang memperjuangkan nasionalisme Arab, mereka yang mengadopsi paham sosialisme dan sebagainya. Kelompok kedua yang resistensinya kurang kuat adalah Ikhwanul Muslimun (IM). Pada mulanya, tokoh-tokoh IM, seperti Hasan Albana dan Sayyid Quthub berusaha merangkul Taqiyuddin an-Nabhani dalam barisan IM. Namun Taqiyuddin menolaknya dengan alasan IM dipandang terlalu moderat, utamanya karena perjuangan IM masih menggunakan kerangka nation-state, bukan kekhalifahan.


Karena itu, sejak awal dideklarasikan pada tahun 1953 di Al Quds (saat itu dibawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai Inggris) HT harus berseberangan dengan pemerintahan yang berkuasa dan juga para aktivis nasionalisme Arab.


Pemerintah Yordania segera melarangnya dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pengurus inti, tidak lama setelah partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr Abd al-Aziz al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan, Taqiyuddin kemudian dibebaskan.


Sejak saat itu, HT harus hidup secara underground, menjadi gerakan clandestine di Yordania dan Syria. Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus. Saat itu intelijen Syiria membawa Taqiyuddin ke perbatasan Syria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang sebelumnya melarangnya. Taqiyuddin lalu menyebarkan pemikirannya di Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya, Taqiyuddin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak itulah, gagasan dan gerakan HT harus disebarkan secara diam-diam. Dan secara diam-diam pula, pengaruhnya mulai menyebar ke kawasan Timur Tengah lainnya, terutama di Syria, Lebanon dan Yordania.


Meskipun demikian, Yordania dan Palestina adalah adalah tempat utama kaderasisasi dan pengembangan HT. Pergolakan Palestina yang tidak ada henti-hentinya menjadi ladang subur persemaian gagasan dan gerakan. Hal ini karena, pertama, Taqiyuddin penggagas dan ketua pertama HT lebih banyak bergerak di kawasan ini, sehingga memungkinkan untuk selalu melakukan kaderisasi. Kedua, Palestina membutuhkan kerangka ideologi yang lebih kuat guna memperjuangkan pembebasan tanah airnya dari Yahudi. Dalam konteks inilah gagasan dan gerakan HT menemukan ladang persemaiannya. Gerakan ini menawarkan kerangka alternatif yaitu membangun daulah Islamiyah berdasarkan prinsip kekhalifahan. Menolak segala sesuatu yang berbau Barat, termasuk konsep nation-state yang saat itu mulai diimplementasikan di sejumlah negara Timur Tengah. Penolakan ini tampaknya bertemu dengan realitas politik saat itu, di mana sejumlah negara Timur Tengah justru kurang all out dalam membantu perjuangan Palestina.


Tentu saja HT tidak sendirian. Pengaruh gerakan-gerakan Islam lainnya juga cukup berperan dalam meneruskan perlawanan terhadap Israel. Kekuatan Ikhwanul Muslimun umpamanya, tidak mungkin bisa diremehkan dalam memberikan kontribusi semangat jihad di kalangan penduduk Palestina.


Pengaruh HT ini sudah tampak dalam organisasi PLO. Khaled Hassan adalah salah satu pendiri PLO yang juga pendiri HT. Begitu Juga Sheh Assad Tamimi, ulama yang sangat dipandang di Palestina. Mereka adalah kader-kader HT yang cukup disegani. Kader utama HT lainnya adalah Sheh Abdul Qodim Zallum. Ulama yang juga berasal dari Palestina ini nantinya mewarisi kepemimpinan HT pasca meninggalnya Taqiyuddin pada tahun 1977. Tokoh penting lainnya adalah Sheh Ahmad Tamimi, tokoh spiritual Palestina. Mereka semua umumnya mengenal terlebih dahulu gagasan-gagasan IM. Namun, selanjutnya lebih memilih mengembangkan gagasan kekhalifahan. Pengaruh HT tersebut cukup terasa di dalam tubuh “Palestinian Islamic Jihad”. Kelompok jihad ini berbasis di Syiria yang didirikan oleh Shiekh Abdullah Ramadan Shallah dan Fathi Shaqaqi. Para aktivis HT umumnya memback-up kelompok ini.


Di samping mengilfiltrasi PLO dan gerakan lainnya, seperti Hisbullah dan Hammas, aktivis HT juga berusaha mempengaruhi sejumlah proses politik di Yordan. HT melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata Yordan pada tahun 1969 dalam upaya menggulingkan kekuasaan (kudeta). Namun upaya ini mengalami kegagalan. Hal yang sama dilakukan pada tahun 1971. Penyusupan ke tubuh militer juga dilakukan di Selatan Irak pada tahun 1972. Lagi-lagi, usaha ini mengalami kegagalan.


Sejumlah kudeta dan pembunuhan politik di Mesir, Jurdan, Tunisia, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya pada dekade 1970-an ditengarai melibatkan aktivis HT. Kudeta di Mesir tahun 1974 yang melibatkan Salih Sirriyah dan pembunuhan Anwar Saddat 1984, diduga melibatkan aktivis HT. Begitu juga usaha pembunuhan terhadap raja Husen, Jordan.


Kegagalan berturut-turut dalam sejumlah perebutan kekuasaan tersebut menyebabkan perkembangan gerakan HT semakin menurun. Pamornya memang kalah dibanding gerakan lainnya. Namun, Taqiyuddin tampaknya bersikukuh dengan garis politiknya untuk bergerak secara non-kooperasi dengan kekuatan yang menggunakan instrumen Barat. Hal ini karena HT memandang bahwa metode perjuangan tidak boleh dikompromikan.


Sifat radikalisme gagasan tersebut, karena dalam doktrin HT, penerapan syariah tidak bisa dilakukan secara bertahap. Abdul Qodim Zallum, pengganti Taqiyuddin, menyebutkan bahwa penerapan syariah harus bersifat menyeluruh dan sekaligus (one for all). Dengan mengutip beberapa hadist, Zallum berpendapat bahwa memerangi penguasa kufur adalah kewajiban. Penguasa kufur diidentifikasi adalah mereka yang tidak menerapkan hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian. Semua itu hajib diperangi dengan mengangkat senjata.


Meskipun gerakan HT terkonsentrasi di Yordania, Palestina dan Siria, melalui kader-kadernya, gagasan kekhalifahan ternyata mulai mendapat tempat di sejumlah negara. Pola persebarannya terutama melalui kampus-kampus. Pada bulan April 1967, HT telah beroperasi di Turki melalui sejumlah mahasiswa Jordan yang kuliah di Universitas Ankara. Gerakan ini mampu menarik minat mahasiswa dan akademisi Turki, termasuk Ali Nihat Eskioge, seorang astronom. Tokoh penting lainnya adalah Annan Mohammad Ali dan Amir Ercumend. Mereka secara terbuka telah berani menyebarkan pamflet yang berisi seruan menghidupkan kembali kekhalifahan. Akan tetapi, dengan segera gerakan ini ditekan oleh militer. Dan para pemimpinnya di tahan pada tahun 1967. Sejak saat itu, HT Turki kembali memasuki kehidupan clandstine. Kemunculannya kembali baru terjadi pada tahun 1985 dan 1986 dengan mengedarkan pamflet, ”konstitusi HT”. Namun, sekali lagi, aksi ini harus menghadapi tekanan dan sekitar 42 orang anggota HT harus ditahan. Termasuk Ahmad Kilikaya, salah satu tokoh penting HT Turki. Pemerintah Turki tampaknya terus memburu para pemimpin HT. Pada tahun 2001, Remzi Ozer, pemimpin HT dipenjarakan. Selanjutnya pada Mei 2003, Emir Yilmaz Celik dan 93 pengikutnya harus pula dipenjarakan.


Dalam masa kepemimpinan Taqiyuddin, perkembangan gerakan HT memang tidak sepesat IM. Namun, sel-sel gerakan ini pada dasarnya telah menyebar di sejumlah negara Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Eropa. Sekarang ini, HT mengklaim telah tumbuh di sekitar 40 negara. Setelah Taqiyudin meninggal pada tahun 1977, HT dipimpin oleh Abdul Qodim Zallum, tokoh HT yang berasal dari Palestina. Kepemimpinannya berlangsung hingga 2003. Setelah Zallum meninggal pada 2003, komando HT dipegang oleh Ata Ibnu Khalil Abu Rashta, alias Abu Yasin. Dia adalah orang Palestina yang sebelumnya telah menjadi jurubicara HT Yordan. Diyakini, Abu Rashta sekarang mengendalikan HT dari The West Bank. Abu Rashta didampingi oleh Khaled Hassan, pendiri organisasi Fatah (salah satu faksi yang tergabung dalam Palestine Liberation Organization) dan tokoh spritual HT yaitu Sheikh Asaad Tamimi.

Jumat, 08 Juli 2011

Hizbut Tahrir

Hizbuttahrir adalah pengikut Taqiyuddin An-Nabhani Al-Palesthini (Wafat 1400 H). Di antara kesesatan Hizbuttahrir dan bukti menyempalnya kelompok ini dari mayoritas umat Islam adalah pernyataan mereka bahwa orang yang meninggal dengan tanpa membaiat seorang khalifah maka matinya adalah mati jahiliyah. Artinya menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya orang-orang penyembah berhala.

Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, seluruh orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati jahiliyah, sebab sejak saat itu dunia Islam vakum dari khalifah. Sementara Khilafah Islamiyah tertinggi yang mengurus seluruh keperluan umat Islam terputus sejak lama. Umat Islam yang pada masa sekarang tidak mengangkat kholifah, mereka seungguhnya mempunyai udzur (alasan yang diterima). Yang dimaksud umat Islam disini adalah rakyat, karena terbukti rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Lantas berdosakah mereka jika memang tidak mampu? Bukankah Allah Ta’ala berfirman:

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 268)
“Allah tidak membebankan terhadap satu jiwa kecuali apa yang ia sanggup melakukanya”. (Q.S. Al Baqoroh 268)

Lebih sesat lagi, Hizbuttahrir menyatakan bahwa seorang hamba adalah pencipta perbuatannya yang ikhtiari (dilakukan atas dasar kemauanya). Sementara hanya perbuatanya yang bersifat idlthirari (perbuatan yang di luar inisiatifnya seperti detak jantung, takut, menggigil karena dingin dan lain-lain) yang diciptakan oleh Allah. Dengan pernyataan ini, Hizbuttahrir telah menyalahi firman Allah:

الله خالق كلّ شيء (سورة الزمر: 62)
“Allah adalah pencipta segala sesuatu”. (Q.S. Az-Zumar 62). Segala sesuatu dalam ayat ini berarti tubuh manusia dan segala perbuatanya.

Mereka juga menyalahi firman Allah:

هل من خالق غير الله (سورة فاطر: 3)
“Adakah pencipta selain Allah?” (Q.S. Fatir 3).

Maksudnya tidak ada sang pencipta atau yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada (ARAB) kecuali Allah.

Juga menyalahi firman Allah:

قل إنّ صلاتي و نسكي و محياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له (سورة الأنعام: 162–163)
“Katakanlah (wahai Muhammmad) sesungguhnya sholatku dan nusuk (sembelihan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti Al hadid dan kurban Idul Adha)-ku, hidupku dan matiku adalah milik Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya”. (Q.S. Al An’am 162-163).

Pada ayat ini dengan jelas dinyatakan bahwa sholat dan nusuk yang merupakan perbuatan ikhtiyari, semuanya adalah ciptaan Allah tidak ada yang menyekutuiaNya dalam hal ini. Bahwa hanya Allah yang menciptakannya dan yang mengadakanya dari tidak ada menjadi ada.

Ayat-ayat tersebut semuanya menunjukan bahwa seluruh apa yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah. Semua benda (dzat) dan sifat-sifatnya seperti diam, bergerak, warna, fikiran, rasa sakit, rasa nikmat mengerti, lemah dan lain-lain, kesemuanya tidak lain ciptaan Allah. Manusia hanyalah berbuat, tidak menciptakan. Ini adalah paham yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan mayoritas umat Islam hingga kini.

Di antara ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia bukan pencipta perbuatanya, baik perbuatan yang bersifat ikhtiyari maupun idlthirari, adalah firman Allah:

فلم تقتلوهم ولكنّ الله قتلهم (سورة الأنفال: 17)
“Kalian tidaklah membunuh mereka, tapi Allah yang membunuh mereka”. (Q.S. Al Anfal: 17).

Sekalipun orang-orang muslim yang berperang dan membunuh, namun begitu -seperti yang dijelaskan ayat- Allah menafikan bahwa mereka membunuh secara hakiki. Karena para sahabat mati yang menjadi khitab (yang diajak bicara) meskipun mereka melakukan pembunuhan tetapi bukanlah mereka pencipta perbuatan membunuh tersebut yang mereka lakukan tidak lain hanyalah sisi kasab (kasab adalah apabila seorang hamba merngalahkan niat dan kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan dan pada itulah Allah menciptakan dan menampakan perbuatan mereka tersebut) dan dhahirnya saja. Pada hakikatnya Allah lah yang menciptakan perbuatan mereka tersebut dari tidak ada menjadi ada. Lanjutan firman Allah dari surat Al-Anfal tersebut:

وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى (سورة الإنفال :17)
“Dan tidaklah engkau melempar secara hakiki saat engkau melempar, tetapi Allah yang menciptakan perbuatan melempar yang telah engkau lakukan”.(Q.S. Al Anfal 17).

Pada ayat ini Allah menafikan perbuatan melempar dari Rasul Allah SAW dalam pengertian hakikat dan penciptaannya. Menafikan pengertian mengadakan dari tidak ada menjadi ada. Jadi maksud ayat tersebut : “Engkau wahai Muhammad tidaklah menciptakan perbuatan melempar yang terjadi dalam dirimu, akan tetapi itu adalah ciptaan Allah. Allah mengadakannya dari tidak ada menjadi ada”. Pada ayat ini Allah pada satu sisi menafikan perbuatan melempar dari Rasul Allah SAW, yaitu dari segi penciptaan atau mengadakan dari tidak ada menjadi ada dan menetapkan adanya perbuatan dari Rasul Allah SAW dari sisi lain, yaitu dari segi kasab, yakni Rasulullah SAW melakukan perbuatan melempar tetapi tidak melakukannya.

Dengan demikian keyakinan Hizbuttahrir jelas menyalahi kedua ayat ini lebih jelas lagi menyalahi ayat akhir. Imam Abu Hanifah berkata:

أعمال العباد فعل منهم و خلق الله
“Perbuatan-perbuatan hamba adalah perbuatan dari mereka dan ciptaan Allah”.

Inilah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam, baik mereka para ulama salaf (mereka yang hidup pada 300 tahun pertama hijriah ; yaitu periode Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiit Tabiin) maupun ulama khalaf (pasca periode salaf hingga kini). Pendapat yang menyalahi aqidah ini berarti telah menyalahi Al Qur’an dan Hadist Nabi. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW apabila kembali dari haji atau umroh atau berperang, beliau berkata:

لاإله إلا الله وحده لاشريك له نصر عبده وأعزّ جنده وهزم الأحزاب وحده
“Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah yang menolong hambaNya, memenangkan tentaraNya dan Dia yang mengalahkan semua kelompok (musuh) dengan sendirian”.

Dalam hadist ini Rasullah menjadikan kekalahan semua kelompok musuh sebagai sesuatu yang murni ciptaan Allah SWT tanpa ada andil dari siapapun, padahal secara dhahir mereka, pasukan Nabi dan kaum muslimin telah mengalahkan musuh. Hadist ini cukup memberikan pemahaman yang sangat jelas. Namun begitu, masih banyak ayat lainnya yang memberikan pemahaman yang sama, bahwa manusia sama sekali tidak menciptakan perbuatannya. Di antaranya firman Allah SWT:

واصبر وما صبرك إلا بالله
“Dan sabarlah engkau (wahai Muhammad) dan tidaklah kesabaranmu kecuali dengan penciptaan Allah”. (QS. An-Nahl: 127)

Pada ayat lain Allah SWT berfirman:

وما توفيقي إلا بالله
“Dan tidaklah taufiqku (petunjuk kepada ketaatan) kecuali dengan ciptaan Allah”. (QS. Hud: 88).

Selasa, 05 Juli 2011

Kisah Tentang Tokoh MTA Yang Kabur


Sebagaimana dijelaskan dalam site resminya; Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.

Organisasi yang sekarang dipimpin oleh Ahmad Sukino ini, meskipun bertujuan melakukan pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an, namun dalam prakteknya cara pemahamannya sangat dangkal dan cenderung memahami sesuai keinginan nafsunya untuk membid'ahkan dan mengkufurkan orang Islam.

Meskipun sering menyalahkan dan membid'ahkan orang, ternyata organisasi ini tidak kebal kritik atau tidak mau diluruskan apalagi disalahkan. Salah satu buktinya, pada Pengajian di Wonosobo dalam tri wulanan jamaah tariqoh naqsabandiyah-kholidiyah, 27 Maret 2011, Gus Zuhrul Anam Pondok Pesantren Leler Cilacap, salah seorang menantu Mbah Kyai Maimun Zubair Sarang dan murid Abuya Sayyid Muhammad Alwy al Maliki, bercerita bahwa beliau baru saja didatangi kelompok garis keras MTA (Majlis Tafsir Al-Quran). Rombongan berjumlah 4 org, dipimpin "kiai"-nya langsung, Ahmad Sukino.

MTA menyatakan keberatan dg pengajian2 Gus Anam (GA) yg sering menyinggung2 MTA.
Gus Anam menjawab, bahwa dia menyinggung ajaran MTA hanya sekadar menggunakan hak jawab, karena ceramah2 MTA sering membid'ahkan&menyesat2kn amaliah2 umat Islam, khususnya NU. Gus Anam menyarankan agar MTA tdk usah menyinggung2 soal khilafiah dlm dakwahnya.

MTA tetap tidak bisa menerima penjelasan Gus Anam. Gus Anam kemudian mengusulkan debat terbuka di Banyumas difasilitasi perguruan tinggi dg guru2/tokoh MTA. Debat dsiarkan langsung di TV, diliput wartawan2 utk membuktikan siapa yg benar.
MTA tidak mau, alasannya agama bukan utk debat-debatan.
GA menjawab yg membuat masalah terlebih dahulu bukan dirinya, tapi MTA. Dan didalam Qur'an disebutkan "wa jadilhum billatiy hiya ahsan"

Meski sudah dijelaskan panjang, MTA tetap memaksa Gus Anam jangan menyinggung-nyinggung lagi MTA dalam tiap pengajiannya. Bosan bertemu dengan orang-orang bodoh tapi ngeyel, Gus Anam akhirnya mengambil kitab, tokoh-tokoh MTA disodori kitab diminta membaca kitab tersebut. Mengetahui akan dites bahasa Arab dan pengetahuan agamanya, rombongan MTA langsung bersiap pamit.
Gus Anam terus meminta agar salah satu rombongan MTA mau membaca kitab itu, tapi tetap tidak mau, bahkan mereka terus berdiri, dan pergi tanpa sempat menikmati minuman+makanan yg dhidangkan.

Kawan... cerita ini, seperti cerita-cerita lain tentang tokoh-tokoh wahabiyah yang selalu lari bila diajak berdebat atau berdiskusi sehat untuk membuktikan hujjah siapa yang sahih dan benar, bukan dalam rangka merendahkan mereka, namun agar anda semua tidak mudah terlena dengan jargon kembali kepada quran dan hadits. Terlebih bila jargon itu dipekikkan oleh orang yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ilmu yang dimilikinya, dan hanya berani bermain petak umpet, seperti anak kecil yang tidak perlu diladeni apalagi digugu dan ditiru... waspadalah!

Senin, 04 Juli 2011

Abu Jahal Lebih Bertauhid?

Sebagaimana dikutip dalam blog warkop mbah lalar bahwa semakin banyak kita mengkaji wahabiyah, akan semakin membingungkan kita.

Salah satu contoh dalam kaifa nafhamu al tauhid karya Muhammad Basymil halaman 16 sebagaimana disitir dalam buku Radikalisme Sekte Wahabiyah halaman 71 ; sekte wahabiyah menyatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih bertauhid dan lebih murni imannya daripada umat Islam yang bertawasul kepada Allah melalui para nabi, wali dan orang-orang saleh.

Pernyataan ini sungguh mengherankan dan sulit diterima akal sehat. Orang yang nyata-nyata musyrik menyembah berhala dikatakan lebih murni imannya daripada orang mukmin yang bertawassul kepada Allah melalui para nabi, wali dan orang-orang shaleh. Bukankah ini sebuah kesesatan yang nyata? Dengan pernyataan ini, orang-orang wahabisecara tidak langsung telah menjadikan Abu Jahal lebih mulia daripada para sahabat, tabiin, pengikut tabiin karena para sahabat termasuk orang yang bertawasul melalui nabi karena memang RasuluLlah mengajarkannya.

Salah satu bukti ajaran tawassul yang diajarkan Nabi adalah perintah nabi kepada seorang yang sakit mata hingga penglihatannya hilang untuk berdoa dengan tawassul:

اللهم إني أسألك وأتوجه بنبيك صلى الله عليه وسلّم نبـي الرحمة يا رسول الله إني توجهت بك إلى ربـي في حاجتي هذه لتقضي لي اللهم فشفعه في

Hadits ini menurut para muhadditsin dishahihkan. Bagaimana mungkin seseorang yang menjalankan ajaran Nabi dianggap musyrik dan Abu Jahal dan Abu Lahab yang jelas-jelas memusuhi perjuangan Nabi malah disebut lebih bertauhid dan murni imannya?

Memakai Hirz/Jimat


dikutip dari blog sunni
Di antara keganjilan golongan Wahabi bahwa mereka mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah, mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Lalu bagaimana mereka menilai Abdullah ibn 'Amr ibn al 'Ash dan lainnya dari kalangan para sahabat yang telah melakukan hal itu yakni mengalungkan hirz-hirz tersebut pada leher anak-anak mereka yang belum baligh. Apakah mereka akan memvonis para sahabat itu dengan syirk ?!!!, lalu apa yang hendak mereka katakan tentang Imam Ahmad, Imam Mujtahid Ibn Mundzir yang telah membolehkan hirz. Cukuplah ini sebagai bukti bahwa kelompok Wahabi ini sesat karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf.

At-Tirmidzi dan an-Nasa-i meriwayatkan dari 'Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”, dalam riwayat Isma’il Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:

" أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه ومن شر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون "

Adalah sahabat Abdullah ibn 'Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di lehernya”. (dalam beberapa terbitan kitab al adzkar terutama yang diterbitkan oleh saudi arabia, kalimat dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh dihapus )

Al Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al Amali [Nata-ij al Afkar, h. 103-104] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari 'Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun". Kalaupun Ibn Baaz atau Muhammad Hamid al Faqqi melemahkan hadits ini, maka itu adalah sesuatu yang tidak benar, tidak berarti dan tidak perlu diambil karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh. Apalagi Amir al Mukminin fi al Hadits, Ibn Hajar al 'Asqalani telah menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibn Abi ad-Dunya [dalam kitab al 'Iyal, h. 144] meriwayatkan dari al Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubayr sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang". Dalam riwayat al Bayhaqi [ as-Sunan al Kubra, Jilid 9, hlm. 351] orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudhail.

Dalam kitab Masa-il al Imam Ahmad [h. 260] karya Abu Dawud as-Sijistani sebagai berikut:

§ “Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

§ Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakr berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud: Aku telah mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang menulis al Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

§ Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: Menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi?, beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

Dalam kitab Ma’rifah al ‘Ilal wa Ahkam ar-Rijal [ hlm. 278-279] dari Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata: telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata: “Tidak masalah mengalungkan hirz dari al Qur’an pada leher seseorang”.

Abdullah ibn Ahmad [dalam Masa-il al Imam Ahmad karya puteranya Abdullah, h. 447] berkata: “Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki Jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam, ia juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih dan ia menulis hadits Ibn Abbas, hanya saja ia melakukan hal itu ketika mendapatkan bala dan aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widz pada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya, aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya, aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat, aku melihat ayahku mengambil piring Rasul yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum, bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk obat ia usapkan pada kedua tangan dan mukanya”.

Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah [ 5/39-40] tersebut sebagai berikut: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al Hakam dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibn Abbas berkata: Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:

"بسم الله لا إله إلا هو الحليم الكريم , سبحان الله رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها ) [سورة النازعات / 46] (كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ) [الأحقاف / 35] (فهل يهلك إلا القوم الفاسقون) [سورة الأحقاف / 35]"

Dalam kitab al Ausath fi as-Sunan wa al Ijma’ wa al Ikhtilaf , Juz 1 h. 103-104 karya Ibn Mundzir disebutkan bolehnya memakai at-ta’widz (hirz).

Dalam kitab al A-daab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al Hanbali juga disebutkan bahwa Imam Ahmad menulis ta’widz untuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, membuat hirz untuk orang yang demam. Imam Ahmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan dan meriwayatkannya dari Ibn Abbas dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dari Rasulullah dalam 'Amal al Yaum wa al-laylah”.

Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra kebolehan memakai hirz dari beberapa ulama Tabi'in, di antaranya Sa’id ibn Jubayr, Atha’. Bahkan Sa'id ibn al Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta'widz dari al Qur'an. Kemudian al Bayhaqi berkata: “ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa (bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al Qur'an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq”.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

" إن الرقى والتمائم والتولة شرك " رواه أبو داود

Maknanya : “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik” (H.R. Abu Dawud)

Yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari 'ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.

Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada dua macam ; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

§ Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.

§ Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. umat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari 'ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i ini terdiri dari ayat-ayat al Qur’an atau dzikir.[]

Minggu, 03 Juli 2011

celana yang dilaknati


Beberapa waktu yang lalu ada seorang murid mengaji bertanya... bagaimana hukum bercelana yang menjulur dibawah mata kaki atau dalam bahasa arab biasa dikatakan isbal.
Saya bilang tidak masalah, tergantung niat yang dipakai ketika menggunakan. al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel juga pernah menegaskan hal ini. murid ini sepertinya tidak puas, kemudian menyampaikan sebuah hadits.
«من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه» Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga melebihi mata kaki karena kesombongan, maka Allah tidak akan melihat(memperdulikan)orang tersebut.
Saya sampaikan kepadanya bahwa hadits riwayat itu atau riwayat yang lain tentang isbal, selalu disertai dengan kata خيلاء atau karena sombong, sehingga bila cara pakai celana, sarung atau jubah melebihi matakaki tanpa niatan sombong tetapi lebih mengarah kepada keindahan atau alasan lain maka tidak termasuk hadits tersebut diatas. al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel bahkan menyatakan memanjangkan celana bisa menjadi berhukum sunnah apabila diniatkan untuk keindahan karena Allah itu indah dan mencintai keindahan. disamping itu dalam subulussalam juz 4 hal 1971 mengomentari hadits diatas disebutkan:
وتقييد الحديث بالخيلاء دال بمفهومه أنه لا يكون من جره غير خيلاء داخلاً في الوعيد وقد صرح به ما أخرج البخاري وأبو داود والنسائي أنه قال أبو بكر رضي الله عنه لما سمع هذا الحديث: إن إزاري يسترخي إلا أن أتعاهده، فقال له صلى الله عليه وآله وسلم: «إنك لست ممن يفعله خيلاء» وهو دليل على اعتبار المفاهيم من هذا النوع.
taqyid/pembatasan hadits tersebut dengan kata الخيلاء / sombong,menunjukkan kefahaman bahwa orang yang memanjangkan/isbal bukan dengan maksud sombong, tidaklah termasuk dalam ancaman (Allah), telah benar-benar menjelaskan hal ini, hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, dawud dan nasai bahwa ketika Abu Bakar mendengar hadits ini, diberkata, "sesungguhnya sarungku terjulur kecuali kalau aku mengikatnya," Rasulullah kemudian berkata :"Sesungguhnya Kamu bukan termasuk orang yang mengerjakannya karena sombong" Komentar Nabi ini merupakan dalil tentang tolok ukur kepahaman pada masalah ini.
Jadi kepahaman sebagian kelompok yang menggebyah uyah semua celana panjang hingga sebawah mata kaki terlaknati (shubhanaLLah saya pernah mendengar langsung dan mendapat makalah yang menyebut mereka yang celananya hingga sebawah mata kaki kafir) adalah tidak benar.
Perlu direnungkan pula bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut. Innama al a'maalu bi an niyat lah!

Menggunakan Tasbeh Saat Berdzikir


Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !

‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.

Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.

Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .

Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja !

Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).

Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:

“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :

سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلـَقَ فِى السَّماَءِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا
خَلَـقَ فِى الأَرْضِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ, اَللهُ أَكْيَرُ
مِثْـلُ ذَلِكَ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ,وَ لإِلَهَ إلاَّ الله مِثْلُ ذَلِكَ,
وَلاَقُوَّةَ إلاَّ بِالله مِثْلُ ذَلِكَ

Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.

Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !

Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan mereka.

Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!

Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.

Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.

Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.

Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.

Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.

Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.

Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.

Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).

Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!

Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.

Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.

Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?

Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka menggunakan tasbih lebih afdhal.

Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.

Tawassul Dan Tabarruk

Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya) dengan mengucapkan:

"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"

Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".

Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.

Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.

Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahhabi yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham orang-orang wahhabi ini. [2]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :

"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .

Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).

Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya. [3}

Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :

" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "

Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"

Kemudian Rasulullah bersabda :

" والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر"

Maknanya : "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar"

Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :

ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين

Maknanya: " Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh "

Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu Hanifah.
___________________________________

[1]. Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal

[2]. Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H) dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn Taimiyah.

[3]. Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi.

Toleransi Beragama Dg Piagam Madinah Sebagai Tolok Ukur

Sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Penjelasan materi tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita.

Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Konsep Toleransi dalam Islam

Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl).

Beberapa prinsip ajaran Islam ini merupakan sesuatu yang qath'iy, ia tidak bisa dianulir atau dibantah dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyât, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi rentang waktu dan dimensi tempat (shâlihatun likulli zamânin wa makânin). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran ini bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.

Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah mengajak kepada prinsip-prinsp ajaran Islam ini. Rasulullah Saw bersabda:

قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (رواه البخاري، الترمذي، أحمد، دارمي)

“Sampaikanlah apa yang datang dariku walau pun hanya satu ayat”. (HR. Bhukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi)

Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256)

“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)

Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam.

Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6)

“Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku”

Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.

Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)

“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).

Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam?

Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99:

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ.

"Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.

Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29)

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”

Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhâj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghâyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washîlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islâm murûnatun fi l-wasâ`il wa tsabâtun fi l-ghâyât (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri).

Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)

Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan.

Toleransi Merujuk Piagam Madinah

Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama.

Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya.

Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw".

Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat.

Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama.

Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya

Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”.

Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka".
Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul.
Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan

Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.''

Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi.

Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam.

Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama.

Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites